Friday, October 31, 2014

Jumatulis Season 2 - 06 SMA - Catatan Acak Masa SMA

Tema Jumat ini adalah SMA. Duuh SMA.....apa yang bisa saya tulis?
Kisah SMA saya tidaklah seperti teenlit (efek baru baca ulang Fairish) hehehe...biasa saja. tapi, coba kita korek lebih dalam ya..
Banyak orang bilang, masa SMA adalah masa yang paling indah, sampai-sampai Paramitha Rusady punya lagu yang judulnya Nostalgia SMA. Bagi saya masa SMA juga cukup menarik kalau boleh dibilang indah..ya, ada hal-hal yang menyenangkan, bikin sedih, bikin terharu, bikin salah tingkah. Pokoknya campur aduk masa SMA.
semacam bikin #20facts aja deh.. berapapun fakta yang akan saya beberkan ya.. (nulis di tengah-tengah nunggu jam kuliah selanjutnya, jadi mungkin banyak kata yang gajebo, mohon dimaafkan) ^^
1. Saya SMA di sebuah sekolah negeri yang cukup beken di kota saya ini. Masuk ke SMA ini hampir-hampir gagal karena konon kabarnya passing grade buat masuk ke SMA ini termasuk tinggi. Saya yang waktu itu cuma punya NEM 36 koma sekian jadinya H2C deh. Alhamdulillah ternyata saya lolos dan bisa sekolah di situ.
2. Pas Penataran P4, ada lagu yang begitu memorable bagi saya dan teman-teman di kelas 1-7, bahkan mungkin sampai sekarang. Lagu I Swear yang diplesetin Minions jadi Underwear itu. seorang teman kami didaulat untuk nyanyi lagu itu di depan kelas. Dengan gayanya yang bak penyanyi Idol, teman kami itu menyanyikan lagu I Swear penuh penghayatan, sehingga kemudian namanya diberi embel-embel I Swear.
3. Beberapa kali kabur dari sekolah, kabur bareng-bareng tentu saja. Sebelumnya saya gak ikutan kabur karena takut dimarahi guru, tapi.... ternyata yang jadi sasaran kemarahan para guru justru saya dan teman-teman yang bertahan di kelas. Ya sudahlah ketika ada ajakan kabur lagi, saya dan teman-teman yang awalnya gak ikut kabur akhirnya turut serta demi menjaga kebersamaan. #apeu
4. Ngotot ambil jurusan IPS padahal para guru sudah menentukan saya masuk jurusan IPA. Akhirnya dibolehkan dengan syarat saya harus jadi rangking satu di jurusan IPS. Alhamdulillah persyaratan dari para guru bisa dipenuhi.
5. Daaannn.... alhamdulillah, masa SMA ditutup dengan nilai akhir yang kebalikan dari NEM ketika masuk SMA.. alhamdulillah ^^

Jumatulis Season 2 - 06 SMA - Matinya Masa Remaja

Masa-masa remaja saya di tingkat SMA hampir habis untuk patah hati. Kepada satu orang. Habis-habisan. Dan menyakitkan jika harus menjawab pertanyaan, "Apa kebahagiaan yang kamu dapatkan semasa remaja?" Hampir tertutup semua dengan kelabu ini. Bukannya tak ada, tapi saya terlanjur hanya mengingat kepahitan ini dibanding memori lainnya yang seharusnya bisa saya kenang dengan senyum setiap saat di hari tua saya.

Saya takut masih menyimpan dendam sampai saya mati nanti. Masalahnya, dua hal ini; memaafkan dan mati, nggak bisa saya tahu kapan tibanya. Sudah berkali-kali berusaha bangkit dan melupakan semuanya, tapi malah semakin besar trauma yang saya rasakan. Mengerikan. Saya harus memaafkan diri sendiri sebelum bisa memaafkan orang lain, tapi yang saya temukan sampai hari ini justru saya semakin lemah dimakan trauma masa lalu. Sedih. Saya nggak mau mati dengan perasaan seperti ini.

Saya mencintai seorang lelaki bertahun-tahun, demi keyakinan yang ternyata nggak pernah terlihat lebih dari seonggok batu mati tanpa tahu apa dan bagaimana fungsinya. Sia-sia adalah buahnya. Dan entah sampai kapan penyesalan ini nggak pernah setimpal sama kata maaf yang sudah ribuan kali saya dengar. Pelecehan seksual, kekerasan fisik, mental, verbal, perselingkuhan dua tahun lamanya dengan perempuan yang sama, dan masih banyak kerugian lainnya yang tak bisa saya bayar dengan sebuah maaf yang tulus. Jatuh sekali, ditumpuk berkali-kali, lalu saya tertimbun dendam yang saya pupuk sendiri bertahun-tahun, sampai hari ini. Saya takut...

Trauma, depresi, dendam, ketakutan, semuanya jadi teman saya selama ini. Mereka menjilat, menggigit, mengunyah, menelan satu per satu kepercayaan diri saya hingga saya merasa tak lagi punya jiwa. Entah, merinding rasanya setiap mengingat ini semua.

Anak muda itu harusnya puas bersenang-senang, berteman, jatuh cinta, patah hati, itu pesan orang dewasa yang (mungkin) telah melewati bahagianya jadi remaja. Tapi mereka lupa, ada harga yang perlu dibayar untuk hal-hal lain yang mengejutkan kita. Selagi bisa menjaga diri sendiri, akan lebih baik untuk bersenang-senang dalam jangkauan mata yang masih bisa terlihat. Pandanglah sejauh apa pun matamu menangkap, tapi jangan tertipu.

Apa saya udah butuh psikiater?

Jumatulis Season 2 - 06 SMA - Tentang Ti ( Lagi )



Oke, dari judulnya mungkin bisa ditebak, ini lagi-lagi tentang si Ti, yah, dan ini lagi-lagi tentang tema dari grup yang diikutin sama Ti, temanya ialah SMA.
hahaha!! Ti, tertawa dalam hati, setelah sekian lama bengong sambil kerja, dan juga melamun sambil ngeprint laporan dan ngecek kertas kerja sekalian dengerin lagu, dia belom bisa mutusin mau nulis tentang apa.

Sementara itu, dalam pikirannya berputar kembali kejadian-kejadian masa SMA yang, yah, kalau mau dikatakan indah, yah bisalah, secara yah, SMA St. Fransiskus Assisi tempat Ti melanjutkan pendidikannya setelah SMP ini salah satu sekolah favorit, tempatnya strategis, di depan gerbang sekolah ada warnet 2 biji, sampingnya warnet ada warung kopi, terus lurus lagi, pas di persimpangan ada rental ps juga, dan berderetan juga warung makanan.. Itu di depan gerbang langsung loh, nah, kalo di pintu belakang yang bisa dipanjatin, itu ada tempat buat maen biliard, warnet, serta warung kopi juga. Belom lagi peraturan sekolah yang memperbolehkan siswa-siswi untuk berpakaian bebas rapi dari hari selasa-sabtu, serasa anak kuliah gitu. dan boleh dibilang, hal ini dibanggakan siswa-siswi sekolah itu.

Terbayang oleh Ti, hari pertamanya masuk sekolah ini, Masa Orientasi Siswa atau yang biasa disebut MOS, kegiatan geblek yang cuman mo nunjukkin superiornya sebuah sistem senioritas yang ga bermanfaat sama sekali kalo isinya cuman buat bentak-bentak dan ngehukum siswa-siswi baru dengan hal yang ga lumrah seperti ngebawa kacang hijau terus musti diitung, atau ngajakin tiang voli pacaran, juga atribut-atribut memalukan kayak topi dari koran atau name tag gede2 dari plastik hitam yang ditempelin karton putih dengan nama-nama pemberian bodoh yang mesti dipakai. HAH! Geblek.
Jadi, selama seminggu MOS, hanya hari pertama dan hari terakhir Ti menampakkan diri di sekolah, sisanya dihabiskan di warnet, dan sepertinya keputusan itu cukup tepat, mengingat dia punya kenalan beberapa anak kelas 3 yang juga panitia yang bisa dimintain tolong untuk mengisi absennya setiap hari. Dia aman dari perploncoan, nggak nambah musuh kayak temen sekelasnya si Parjo yang sempet berantem ama senior yang ujung-ujungnya, seperti biasa, dikroyok tuh anak.

Masa-masa MOS yang nggak diikutin Ti pun lewat, dan kegiatan sekolah bakal dimulai dengan temen-temen baru, tepatnya baru ketemu lagi setelah berpisah karna lain SMP.
yah, segelintir wajah yang baru dikenal memang ada, dan yang tak disangka, ternyata, Maria, sang pacar pertama (belum pernah ada kata putus, jadi belom jadi mantan) juga sekolah di situ, nggak mustahil sih, toh SMP Maria yah di situ juga, jadi ga aneh kalo dia ngelanjutin di SMA yang sama.

Dia masih cantik dan manis, pikirnya, dan ketika ada saat mereka berpapasan atau bertegus sapa, sorakan teman-teman membahana, kisah mereka ternyata diketahui khalayak ramai, hahahaha. Dan sampai saat ini Ti masih sedikit merenung, mengapa dia bisa pisah begitu aja ya ?

Ada juga saat Ti yang diketahui jago buat puisi dimintain tolong untuk ngebuat surat cinta sama temennya yang mo nembak cewek gebetannya setelah dua tahun memendam rasa, HAHAHAHA!
Surat cinta ? yes, surat cinta, masih jamannya kok, secara handphone masih mahal, dan ga semua orang punya.
dan ketahuilah, ternyata cewek yang ditembak temennya itu malah sukanya sama Ti, bahkan dia bisa tahu, surat cinta itu Ti yang buat, bukannya si Yanto. Ajaibnya lagi, ga berapa lama setelah Yanto ditolak dengan alasan klasik "masih pengen fokus skolah" eh Ti ama Evi jadian, dan ini sungguh sangat menyakiti perasaan Yanto yang kemudian stop bertegur sapa dengan Ti karena dianggep merebut sang pujaan hati.
Well, meski kemudian kisah mereka kandas setelah Ti merasa jenuh, dan kisah komplitnya terlalu pedih untuk diceritakan, karena Ti masih teramat menyesal dengan keputusannya itu.

Diingatnya juga saat mereka yang masuk di tim basket sekolah harus berjuang keras ngajuin proposal dan izin hanya untuk ikut kejuaraan antar sekolah, mendaftar dengan uang patungan dengan harapan kecil tuh duit diganti padahal ngebawa nama sekolah. Lalu ada juga perselisihan antar etnis yang bikin heboh sekolah sampai-sampai menelpon polisi beberapa kali.

Shiet, kenapa jadi nostalgia sendiri gini, pikirnya. Ti masih bengong dan layar laptop di depannya masih putih, hanya terisi pada bagian judul.
tak lama, jari-jarinya mulai menekan pelan keyboard sambil mengingat masa yang dirasanya masih terindah sampai saat ini.


"kisahku, kisahmu teman"

kisahku, kisahmu teman,
hanya sekian tahun.
ada gila, ada bodoh, ada canda serta tawa
meski juga kadang ada selisih kata, dan hampir saja bertukar bogem mentah
tapi di akhir kita bisa tertawa mengenangnya.

kisahku, kisahmu teman,
mungkin hanya sekejap dirasakan,
dan tak sama di beberapa bagian,
namun semoga sepanjang hidup masih bisa diterakan.

kisahku, kisahmu teman,
tak seiring harus berjalan, tapi sama-sama berjuang.
mengejar cinta, bertarung dengan keluh kesah,
menikmati hidup, dan lain sebagainya.
sampai nanti kita bertemu lagi
duduk bersama sambil tertawa, saling berbagi cerita .

kisahku, dan kisahmu teman.
itu ada, dan nyata.


---------------------------------------------------------------------------------------------------



@sayah_ian 31 Oktober 2014.



salam berantakan..~~



Jumatulis Season 2 - 05 Terasi - Tentang Ti




Jadi, alkisah pada jaman sekarang, ada seorang laki-laki, seorang warga keturunan dengan perawakan tidak terlalu tinggi, berkulit (tadinya putih) kuning langsat, berkacamata, memiliki wajah menarik yang seringkali dikira masih anak SMA atau mahasiswa dan yah, baru mulai belajar menulis blog. Sebut saja dia Ti.
Kebetulan, dia mengikuti, ah bukan mengikuti tapi ikut serta -uhmm, bedanya apa yah- dalam sebuah grup, dimana grup tersebut dibuat untuk memotivasi para anggotanya untuk rajin menulis, tak peduli itu sebuah karangan fiksi, prosa manis, puisi cinta, catatan perjalanan, bahkan omong kosong belaka.
Oke, yang terakhir itu kebanyakan Ti yang nulis.
Di tengah kesibukan kerjanya yang mulai padat di suatu waktu di penghujung tahun, dan di hari yang telah ditentukan untuk posting tulisan yang dibuat. Dia kewalahan dengan tema yang diberikan kali ini.
Temanya adalah terasi, iya, terasi. Ti hanya tahu terasi itu bumbu dapur, eh bukan, hmmm. Apa ya namanya, yah pokoknya terasi itu salah satu bahan masakan asli Indonesia. Dibuatnya dari ebi, itu aja udah.
Dan setelah berpikir keras, mencari ide di tengah tumpukan berlembar-lembar kertas berisi angka dan menatap file-file Ms. Excel. Juga berjongkok di American Standard, bahkan duduk di atas Toto, belum ada hasil yang menggembirakan.
Layar laman entri di laptopnya masih kosong, dan Ti pun hanya menatap kosong sambil tangan menggerakkan mouse sesekali. Tak lama, dia mulai mengetik.
"Terasi itu ......


















BAU!!
Selesai."
Tangannya mengarahkan mouse. Klik!
Postingan telah selesai dibuat.
Sungguh sebuah mahakarya, sebuah masterpiece abad ini oleh Ti, sang perangkai kata-kata bodoh, pengarang cerita yang sia-sia, dan backpacker wannabe.
Terima kasih.
@sayah_ian 22 Oktober 2014.
Salam berantakan..~~

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - bel ?





Aku terbaring di ruang tamu setelah terlalu lelah memindahkan barang-barangku, dan ketika aku mulai terlelap, bel berbunyi dari arah pintu. Aku pun bangun dengan susah payah dan berjalan ke arah pintu, mungkin ada barangku yang masih tertinggal di truk agen pemindahan tadi, pikirku.
Bel itu masih berbunyi sekali sebelum aku mencapai pintu.
Klek! Pintu kubuka, tapi tidak ada siapa-siapa.
Ahh, mungkin anak tetangga sedang iseng, dan aku pun teringat ketika dulu sering melakukan hal seperti ini. Aku terlalu lelah untuk mencari tahu, dan kemudian setelah menutup pintu dan menguncinya, aku berjalan cepat kembali ke sofa dan akan melanjutkan tidurku.
TETTT!!!
Aku tersentak bangun, bel berbunyi seakan dekat sekali dengan telingaku.
TETTT!!!
Bel itu berbunyi lagi, dengan raut kesal aku menghambur ke arah pintu dan siap berteriak kepada siapapun yang dengan sopannya datang bertamu jam 1 dini hari.
Pintu kubuka dan tak ada siapapun di sana, dan sekilas kulihat ada jejak kotor di lantai depan pintu, siapapun itu, pasti dia yang mengerjaiku. Kubanting pintu dan masuk kembali ke dalam, dan tanpa mau memikirkannya lagi, aku kembali tidur.

Tok tok tok! Ketokan kencang di depan pintu.
"Greee, ini gue Endo, buka woy!!"

Aku bangun lagi untuk kesekian kalinya, setelah semalam diganggu bel yang sepertinya berbunyi setiap jam, dan setiap kali dan secepat apapun aku membuka pintu, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Iyaaa, tunggu bentar." jawabku sambil melangkah ke arah pintu dengan mata tertutup.
"Lama amat sih" kata Endo sambil melangkah masuk, "Ada kali setengah jam gue gedor pintu lu, untung ga gue dobrak" lanjutnya.
"Lahh, kan ada bel, lebih kenceng kali daripada lu mesti ketok" balasku sambil menutup pintu.
"Bel ? Lu ngimpi ?? Baru juga lu pindah ke sini kemaren, emank lu uda pasang bel ?"

Mendengar itu, aku terdiam, secepat mungkin membuka pintu, melompat keluar dan melihat pintu dan sekelilingnya.
Tidak ada bel terpasang.


@sayah_ian 17 oktober 2014



salam berantakan..~~



Jumatulis Season 2 - 06 SMA - Kisah Di Buku Tulis

Sudah lama tak kulihat buku ini, kusangka telah lama hilang. Sebuah keajaiban menemukannya kembali di antara tumpukan barang yang menggunung di gudang. Sampulnya telah tertekuk dan berjamur, kertasnya telah menguning dan beberapa telah saling berdempetan. Aku membukanya perlahan, dengan kasih. Sebuah buku dari masa lalu, masa yang indah, kurindukan tapi tidak ingin kuulang kembali.

Ya, meskipun ini buku tulis biasa, tapi buku ini dahulu kugunakan sebagai diari. Menyimpan petualangan, pengalaman, pemikiran, dan kisah cinta pertama dari masa yang lalu, masa remajaku. Masa SMA yang kata orang adalah masa-masa termanis dalam hidup. Tersenyum aku membacanya dan seakan dibawa melintasi waktu dan kembali ke masa itu.
*****

Jelas kulihat seorang anak lelaki duduk di bangku depan jendela, tangannya sibuk mencoret-coret kertas dan sesekali ia menghembuskan nafas. Ini kali kedua aku melihatnya berdiam diri di kelas saat jam istirahat. Biasanya ia selalu bergerombol bersama temannya, menghiruk-pikukan kantin. Apa gerangan yang ia pikirkan? Dari bangkuku yang terletak jauh di belakang bangkunya, aku memperhatikannya. Memandang punggungnya dalam diam. Mengagumi punggung itu dan pemiliknya. (Arg dia gak mau noleh apa?!!) Tiba-tiba ia berbalik dan mata kami bertatapan, tersenyum ia menyapaku; "Tidak ke kantin?”.
“Tidak,” jawabku singkat sambil menunjuk novel yang sedang kupegang. Dia masih saja memandangku, sedikit kelabakan aku membenamkan mukaku ke dalam novel dan berpura-pura serius membaca. Malu...

Namanya Ghaza, Muhammad Ghaza Al Ghazali. Dia anak yang periang dan selalu memeriahkan sekitarnya. Senyum selalu menghiasi bibirnya, dan ketika ia tersenyum matanya menyipit dan kedua pipinya dihiasi lesung pipi, sangat manis. Dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, mungkin dia sadar dengan ketampanannya dan juga kecerdasannya. Tapi dia tidak sombong, dia bersedia berteman dengan siapapun. Temannya banyak, apalagi barisan pengagumnya. Di sekolah ini, dari siswa hingga penjaga sekolah dan Ibu Kantin mengenalnya. Singkat kata dia populer, sangat. Dan aku? Gadis biasa dengan nilai pas-pasan di matapelajaran IPA, lebih senang menghabiskan waktu istirahat dengan membaca novel dibandingkan nongkrong di kantin. Aku punya teman, tentu saja. Tapi di sekolah ini, aku ragu jika semuanya mengenalku. Aku cantik kok, aku tahu itu, tapi aku tidak terlalu menyukai berada dikeramaian. Dan terlalu malu untuk mendekatinya....

Ahhh... Ya tentunya aku salah satu dalam barisan pengagumnya. Aku mengaguminya dan menyukainya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Mungkin tidak, hanya rasa kagum terhadap lawan jenis? Oke, ini terasa sangat aneh bagiku.
*****
Aku menutup buku itu, untuk sementara. Aku harus melanjutkan membereskan tumpukan barang di sini. Memilahnya, ada barang yang telah terlalu rusak dan tempat terbaiknya hanyalah di tempat sampah, beberapa masih bagus tapi tidak kuinginkan lagi, mungkin akan kuberikan kepada seseorang yang menginginkannya dan sisanya akan tetap kusimpan. Melelahkan juga rupanya, kegemaranku menumpuk barang seharusnya segera dihentikan. Hanya saja aku selalu merasa sayang membuang barang-barang, bagiku setiap barang itu memiliki kisah dan menyimpan kenangan. Melihatnya, membuatku bernostalgia, kembali pada kenangan yang dipicu oleh benda tersebut.

Aku suka mengenang, pada hal-hal indah dan manis, moment-moment terbaik hidupku, bahkan pada hal-hal sedih dan moment terburuk hidupku. Untuk yang indah-indah, aku mengenangnya untuk merasakan kembali sukacitanya dan bersyukur. Untuk yang sedih-sedih atau kesalahan yang pernah aku perbuat, aku mengenangnya untuk mengerti, menerima, dan belajar dari kesalahan yang mungkin kuperbuat.

Setelah semua barang-barang itu telah kupilah dan kurapikan, aku pun beranjak dari gudang, malam telah tiba, memilah dan merapikan barang yang ada di gudang itu ternyata menyita banyak waktu.
*****

"Belum pulang?"
"Hah? Ohhh ia... belum. Eh, mau, nanti." Kaget, terbata-bata aku menjawab pertanyaannya. Lonceng tanda pulang sekolah telah sedari tadi berbunyi, aku yang merasa nanggung untuk menutup novel yang sedang ku baca tidak mengidahkannya dan terus saja membaca. Tak sadar ia kini telah berada di depanku. Dia tersenyum jahil menatapku (GYAAAAAAA) lalu duduk di kursi tepat di depan bangku ku.
"Wow aku mengagetkanmu ya? Maaf ya, lagian kamu serius banget si bacanya."
"Hehehe ia nih, sudah mau tamat. Kamu kok belum pulang?" Celingak-celinguk aku memandang ke luar jendela, sekolah mulai terlihat sepi (DAN DI KELAS TERTINGGAL KAMI BERDUA SAJA!!!).
"Mau pulang nih tapi lihat kamu serius banget bacanya jadi ya..."
"Ini sudah mau pulang kok." Aku pun dengan terburu-buru memasukan barang-barangku ke dalam tas dan berdiri, beranjak ke luar.
"Hey! Ini novelnya kelupaan!" (DUH!) Di depan pintu aku berhenti dan menunggunya membawakan novelku.
"Nih."
"Makasih." Aku berbalik dan melangkah ke luar gerbang sekolah. Kusadari dia masih mengekor dibelakangku.
"Kamu gak pulang?" Tanyaku akhirnya saat menunggu angkot dan dia masih ada di dekatku.
"Lah ini apa?"
"Bukannya kamu punya motor ya?"
"Sudah dijual. Sekarang pulangnya naik angkot."
"Ohhh..." Sebenarnya aku ingin bertanya mengapa motornya dijual dan sebenarnya aku ingin terus bercakap-cakap dengannya, hanya saja aku tidak ingin terlihat sok ikut campur dengan urusannya (padahal memang mau tau apapun mengenainya! padahal sangat penasaran!).
"Aku duluan ya." Aku pun naik ke angkot dan memilih duduk di pojokan, membuka tas dan siap membaca kembali. Seseorang duduk tepat di sebelahku, aku pun menoleh, "Loh?". Ternyata dia.
"Wah ternyata rumah kita sejurusan ya."
*****
Aku ingat, semenjak itu kami selalu pulang bersama-sama. Kadang di atas angkot itu kami bercakap-cakap, tapi lebih seringnya aku membaca buku dan dia, entah apa yang ia lakukan. Hal itu terus berlanjut hingga...

Aku membuka halaman buku itu cepat-cepat, membaca sekilas bagian-bagian yang kurasa penting hingga tiba dibagian di mana kami tidak pernah bertemu lagi...
*****

Saat penerimaan raport.

Ibu mencubit pipiku gemas. Beliau kesal, aku masuk ke kelas IPS, bukannya IPA seperti yang ia harapkan. Yahhh mau bagaimana lagi? Aku memang lemah di pelajaran IPA. Dan membayangkan selama dua tahun bersekolah tanpa dibuat pusing dan ribet dengan kimia, fisika, dan biologi rasanya seperti surga. AKU SENANG!!!!
"Ih Ibu. Sukur-sukur aku naik kelaskan?!!" Kataku saat mengantar Ibu keparkiran. "Dasar anak ini. Pulangnya jangan lama!"
"Iaaa... dah Ibuku cantik! Hehehehe"

Dimana dia? Dia masuk kelas apa ya? Dia belum datang sepertinya, apa sudah pulang?
"Ghi." Seseorang memanggil namaku dan menepuk punggungku. (Dia!)
"Kau selalu mengagetkanku." Kaget, aku merengut.
"Maaf... bisa kita bicara berdua?"
"Bisa. Ada apa?" Jarang, bahkan mungkin tidak pernah kulihat ia bertampang seserius ini.
"Tidak di sini. Ikuti aku."
Agak ragu aku pun mengikutinya, ia berjalan cepat menuju samping musollah, tempat yang jarang didatangi orang.
"Errr... kenapa kita ke sini?"
"Besok pagi aku akan pergi, ini untukmu." Dia menyerahkan sebuah bungkusan berbentuk persegi panjang. Aku menerimanya dan berkata, "Kemana?"
"Utrecht, Belanda."
"Kau berlibur di sana?" Ia menggeleng.
"Aku akan pindah ke sana."

Aku tak ingat setelahnya. Kami berpisah, dia pergi. Dan aku seperti ingin menangis berdarah-darah tapi tak ada setitik pun air mata yang jatuh. Linglung aku memilih pulang ke rumah.

Bungkusan itu berisi sebuah buku sketsa yang di dalamnya penuh dengan sketsa wajah ku dengan berbagai mimik; tertawa, tersenyum, kaget, serius, tersipu-sipu, semuanya...
*****
"Hyaaa!!!" Aku tiba-tiba dipeluk kuat dari belakang.
"Kau mengagetkanku! Jangan seperti itu ih!"
"Aku lapar!!! Beri aku makan istriku yang cantikkkkkkkkk....."
"Hush berisik tauk."
"LAPARRRRRRRRRR!!!!"

Dengan geli aku beranjak dari sofa tempatku sedari tadi duduk membaca buku itu. Buku itu sendiri kututup dan kuletakkan di dalam laci, di atas sebuah buku sketsa yang nyaris sama tuanya. Aku teringat sebuah lagu dan mendendangkannya pelan...

"Cheotsarangeun areumdawoseo cheotsarangeun -ggotiramnida bomi omyeon
Hwahlchag pineun o~ nuni bushin -ggotcheoreom
Cheotsarangeun eorinaecheoreom cheotsarangeun seotureumnida
Sarangeurakgimeobshi ju-go kajjil mothanikka
Illa illa illa, illa illa illa, illa illa illa, nayesarang good-bye"



Friday, October 24, 2014

Jumatulis Season 2 - 05 Terasi - Sambal Dina

Oleh:


"Makanan di sini enggak ada yang enak!" keluh Mamaku.

"Iya, semua enggak ada rasa!" sahut Papaku kemudian.

Adik-adikku juga tidak mau kalah, aku menatap mereka sambil tertawa, "Di sini, ya, rasanya memang tidak bisa diandalkan. Namanya juga bukan di rumah..."

"Katanya sambal pedas, kok ini malah manis?!"

"Katanya juga ini sambal terasi, kok lebih banyak rasa tomatnya?!"

"Ini juga, jeruk purutnya mana?! Mana enak sambal terasi tanpa dikasih perasan jeruk purut?!"

"Lebih enak sambalnya Dina!" Papa, Mama, dan adik-adikku serentak berseru.

***

Kali ini aku sedang berlibur ke rumah. Sejak jauh hari aku sudah membayangkan masakan rumah, masakan a la Mama, ditambah dengan racikan sambal a la Dina. Di rumah ini, sambal terasi super pedas sudah menjadi ciri khas tersendiri, salah satu yang amat dirindukan oleh perantauan sepertiku. Pembuatnya, ya, siapa lagi? Gadis remaja berusia 15 tahun yang sudah sekitar dua tahun ini ikut tinggal bersama kami.

Ayahnya Dina adalah salah satu tukang yang ikut membangun rumah kami. Malang, di saat proses pembangunan sedang berlangsung, Ayah Dina terjatuh dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Mama dan Papa mengangkat Dina menjadi anak. Dina juga disekolahkan oleh Papa dan Mama. Sebenarnya tidak ada yang memaksa Dina untuk ikut membantu di urusan rumah tangga, apalagi urusan masakan di rumah sepenuhnya ada di bawah tanggung jawab dan kontrol dari Mama. Di rumah juga ada orang lain yang bertugas mengerjakan urusan rumah tangga. Tetapi, Dina terus saja merasa tidak enak hati karena sudah diizinkan tinggal dan disekolahkan. Jadi, dia terkadang ikut membantu Mama memasak.

"Sekalian saya belajar memasak, Bu..." begitu alasan Dina.

Di situlah kemudian rahasia sambal a la Dina mulai terkuak. Sambal yang membuat kami semua tergila-gila. Rasanya tidak lengkap jika makanan di rumah tidak dilengkapi dengan sambal terasi buatan Dina.

"Ma, Dina ke mana?" Ini pertanyaan pertamaku ketika sampai di rumah, "Aku kangen banget, Ma, dengan sambalnya Dina. Kok tidak ada di meja makan? Adanya sambal buatan Mama..."

"Dina pulang ke rumahnya hari ini, besok baru kembali ke rumah kita."

"Yaaah..."

"Kan ada sambal buatan Mama, nak..." bujuk Mama.

"Iya sih, aku juga paling suka sambal buatan Mama. Tapi, kalau sambal buatan Mama hampir tiap hari juga aku makan di kos. Kan, Mama rutin mengirimkan sambal ke aku..."

"Sudah, dari pada kamu semakin kelaparan, mending sekarang makan. Besok, kamu bisa memakan sambal buatan Dina.

Dengan muka masih ditekuk, aku menuruti Mama dan beranjak ke meja makan. Bagaimana pun, cacing-cacing di perutku sudah bergemuruh sejak tadi.

"Besok Dina pulang..." hiburku dalam hati.

***

"Dina!"

"Mbak!"

"Sambal kamu, luar biasa!" Aku mengusap peluh keringat yang bercucuran di wajahku, "Pokoknya, sambal buatan kamu JUARA banget!"

Sumber: Menu Resep Masakan

"Hehehe, nambah Mbak. Kalau kurang, Dina siap membuatkan spesial untuk Mbak lagi."

"Sambal kamu enak banget! Pedaaasss..."

"Bukan sambal, Mbak, kalau rasanya tidak pedas." jawab Dina, seperti biasa. Jawaban yang juga menjadi ciri khas Dina.

Ah, aku begitu menyenangi suasana dan segala isi dari rumah ini.

Jumatulis Season 2 - 05 Terasi - Ngidam Sambal Terasi

"Aku mau sambal terasi."

"Nanti aku bilang si Mbok ya, Mas."

"Kamu aja yang bikin, Nduk."

"Aduh, Mas. Baunya tajam. Aku nggak kuat, ah."

"Cuma disuruh begitu aja sama suami ngeluh terus. Aku lagi kepengin sambal terasi. Itu aja. Memangnya susah?"

Ardi terus mengomel seperti anak kecil yang tak boleh beli permen atau kembang gula karena dianggap sebagai sumber penyakit. Ia bahkan seperti lupa bahwa isterinya sedang berusaha menahan mual yang terus mengganggu keadaannya setiap hari. Bagaimana bisa ia bertemu terasi dan bumbu dapur lainnya yang baunya menyengat? Mencium parfum suaminya sendiri saja kadang bisa menimbulkan perkara.

Semenjak Ratna dinyatakan positif hamil, Ardi jadi mendadak berubah manja. Kadang, ia merasa bahwa suaminya yang mengidam. Sedangkan Ratna tak pernah lepas dari rasa mual dan pusing sepanjang hari. Si Mbok juga perlu ekstra perhatian untuk mengingatkannya makan, karena Ratna seringkali lupa, atau bahkan pura-pura lupa karena tak lagi punya nafsu makan.

"Mbok, aku aja yang masak sekarang, ya. Aku mau masak sambal terasi untuk Mas Ardi."

"Si Mbok aja, Mbak, yang buatkan. Nanti Mbak muntah lagi, gimana?" Si Mbok menjawab sambil memegang tubuh Ratna yang lunglai.

"Mas Ardi maunya saya yang buatkan. Ya, maklum saja, Mbok. Kayaknya dia yang kena ngidam, hehe." Tawa Ratna terdengar getir karena ia lebih merasa mau muntah daripada tertawa. Hanya ada rasa sakit, dan tak ada bahan lawakan yang mampu ia tertawakan lagi. Mau menjadi Ibu saja harus merasakan sakit seperti ini, batinnya.

"Ya, sudah. Kalau butuh bantuan, panggil Si Mbok ya, Neng. Hati-hati di dapur. Si Mbok ada di halaman belakang, kok. Mau nyiram bunga." Jawab Si Mbok sambil perlahan meninggalkan dapur dan membuka pintu belakang yang menunjukkan dataran rumput hijau yang asri dan penuh bunga warna-warni. Taman kecil ciptaan Ardi untuk isterinya yang senang menanam bunga. Ratna memaksakan senyum, berharap Si Mbok mengerti bahwa ia sudah dewasa dan bisa menjaga diri di dapurnya sendiri.

Sementara Ardi terus mengumpat dan mengeluh di kamar, dan tak mau keluar sampai malam hari.

Enam bulan kemudian...

"Anak kita perempuan, Nduk." Tutur Ardi sambil mengusap lembut kepala Ratna.

"Alhamdulillah. Sehat, Mas?"

"Iya. Kamu jangan mikirin apa-apa dulu, ya. Biar pulih dulu badanmu." Terlihat senyum terpaksa di wajah Ardi. Ada yang tertahan di kepalanya. Beban yang entah kapan dan bagaimana bisa ia selesaikan setelah ini. Maafkan aku, Ratna. Aku pernah menyumpahi anak kita. Dan ia lahir dengan banyak bulu.

Jumatulis Season 2 - 05 Terasi - Tentang Seseorang

Sebuah bungkusan plastik tergeletak dengan pasrah di sudut meja kerja saya.
Sebuah post it tertempel di situ, "sedikit oleh-oleh dari Cirebon". Saya buka dengan penasaran, sebatang coklat anti galau (saya pikir coklat anti galau biasanya dari Garut) dan satu bungkusan lagi yang menunjukkan kalau benar ini datang dari Cirebon, terasi.
Ingat Cirebon, mau gak mau saya ingat seseorang. Seseorang yang sempat saya simpan fotonya di galeri hp saya.
Seseorang yang mungkin pernah menjadi calon menantu paling didambakan oleh orang tua saya. Seseorang yang mengaku menunggu saya selama 12 tahun. Seseorang yang bahkan ingat semua pertemuan tak sengaja yang terjadi setelah kami lulus SMA. Seseorang yang tidak diduga tiba-tiba datang bersilaturahmi Lebaran. Seseorang yang pernah meminta saya untuk menunggunya pada liburan Natal tahun itu karena dia akan pulang.
Seseorang yang ternyata tidak datang ketika liburan Natal itu. Seseorang yang pada suatu subuh menjelang tahun baru mengirimkan sebuah sms yang membuat saya bingung. Seseorang yang kemudian mengirimkan email pada saya di bulan Februari. Seseorang yang emailnya saya baca setelah saya memanjatkan doa terlebih dahulu.
Email:
Maaf, aku gak bisa menepati janji. Aku mau menikah akhir bulan ini. Tolong mintakan maaf ke mamah sama bapak ya..
Sekali lagi aku minta maaf.
Seseorang yang mengirimkan surat elektronik untuk menyatakan bahwa rencana kami batal demi rencananya dengan gadis itu. Seseorang yang kemudian mengabarkan bahwa dia sudah menikah dengan seorang dokter gigi. Seorang yang meminta saudaranya untuk menyampaikan hal itu kepada saya. Seseorang yang membuat saya sempat alergi pada sosok dokter yang ada di drama-drama lokal. Seseorang yang kemudian mengajak saya berteman di facebook dan membuat saya akhirnya harus melihat "dia".
Bungkusan terasi itu sedemikian hebatnya membuka pintu mesin waktu ke delapan tahun yang lalu. Dan sepanjang perjalanan ke masa lalu itu, bungkusan terasi itu tetap ada dalam genggaman saya.
Delapan tahun lalu seseorang itu sedang bertugas di kota mpek mpek, dan sekarang dia ada di kota udang tempat oleh-oleh ini berasal.
Malam ini, ketika saya mengingat kejadian oleh-oleh Cirebon itu, dengan tulus saya ingin mengucapkan terima kasih.
Untuk seseorang di kota udang, terima kasih. Karena kita pernah punya kisah pada masa lalu, saya bisa menuliskan cerita ini.

Jumatulis Season 2 - 05 Terasi – Sambal Terasi Ibu

Semenjak kecil, ketika jatuh sakit ataupun selera makannya menurun, Ibu akan membuat sambal terasi, baunya serta merta menggugah seleranya yang sedari kapan hilang entah kemana, ia akan segera makan dengan lahap, sembuh dari demam dan ceria seperti biasa. Sungguh beruntung ia memiliki Ibu yang pintar memasak. Apapun, segala yang diracik tangan Ibunya pasti menjelma menjadi makanan yang lezat.
Sambal terasi, menjadi masakan Ibu paling utama yang harus ada sehari-hari, seperti telah menjadi bagian tersendiri dalam keluarga kecilnya. Ia juga sangat menyayangi Ibunya, tak pernah lepas dari ketiak Ibu yang katanya baunya senikmat bau terasi. Hingga dewasa, menjelma lelaki dengan tetap mengidolakan sambal terasi dan wangi ketiak Ibu. Ia mencintai Ibunya, dan bau terasi yang keluar dari setiap pori-pori kulitnya.
***
Arfa terdiam di sudut dapur, menatap nanar pada pecahan cobek yang sering dipakai Ibunya, dulu, untuk membuat sambal terasi kesukaaannya, dibanting istrinya yang baru saja pergi meninggalkan rumah. Tak tahan, katanya, setiap kali Arfa membandingkan sambal terasi buatannya dengan sambal terasi Ibunya.

Hidup tak senikmat sambal terasi Ibu. Ucapnya terbata-bata.

#Jumatulis Season 2 - 05 Terasi - Nasi dan Terasi

Samin berjalan cepat menuju rumah, perutnya lapar setelah bekerja penuh sebagai penyedia jasa lampu di pasar. Tempat bekerjanya tidak jauh dari rumahnya, pasar pagi. Dengan sandal jepit yang sudah menipis alasnya, hingga kalau terkena permukaan yang licin, bisa membuat terjatuh.

Bau yang mampir di hidungnya yang bangir, membuat perutnya semakin kelaparan. Semalam dia tidak sempat makan, karena Ibunya masih belum mendapat sampah yang bisa ditimbang di tempat pengepul. Tabungan mereka habis terkuras, setelah mendengar kakaknya masuk ke penjara karena ketahuan mencuri perkedel di warung Bu Jannah.

Samin membayangkan sepiring nasi yang masih panas. Walaupun lebih sering memakan nasi yang pera, atau bahkan lebih sering menjadi bubur dan sedikit berbau. Asalkan perutnya terisi, Samin tidak akan mempermasalahkan.

Katanya, sekarang ini pemulung itu bisa mengumpulkan uang hingga jutaan rupiah. Bahkan ada beberapa wartawan yang menceritakan bagaimana seorang pemulung bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Sayangnya, ada banyak yang tidak tahu, kalau Samin juga anak pemulung. Tapi, tidak bisa sekolah tinggi. Sekolah SD saja sudah sukur, karena bisa gratis. Tapi untuk iuran ini dan itu, Samin sering terkena tegur gurunya.

Pemulung yang bisa sukses itu, bukan seperti ibunya. Mereka sudah memiliki wilayah jajahan milik mereka. Sementara Ibunya masih belum memiliki wilayah jajahan miliknya sendiri, sehingga lebih sering diusir sebelum ketahuan oleh pemilik wilayah. Terkadang kehidupan memang menuntut untuk menjadi seorang yang jahat kalau mau bertahan.

Tapi, Ibunya memilih pasrah, mengambil sampah dari kali yang lebih berbahaya. Walaupun sulit untuk menjangkaunya, tapi lumayan. Kali di sekitar tempatnya ini banyak sampah yang memang tidak banyak juga yang bisa di setor ke pengepul.

"Buk, Samin lapar."

"Sini Cung. Ibu baru dapat rejeki!"

"Ada makanan, Bu?"

"Ada, Ibu abis ngambil sampah di dekat sana, ini ada terasi yang masih bagus bentuknya, dicampur sama nasi saja biar nggak kerasa bau sangitnya."

Nasi yang diambil Ibunya dari bungkusan nasi di pojok tempat sampah, serta bungkus terasi yang sudah kadaluarsa. Membuat Samin bersemangat, tak perlu ragu untuk memakan apapun, karena yang penting tidak kelaparan, Samin dan keluarganya bisa hidup.

****

Tulisan ini diikut sertakan dalam #Jumatulis dengan tema Terasi.

image

Friday, October 17, 2014

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Perihal Kehilangan

Oleh:
 
 
Sumber Gambar: Dreamstime
 
Kau pernah mengalami kehilangan? Iya, kehilangan. Apapun wujud kehilangan itu. Saat akan mengalami momen kehilangan, terkadang kita diperdengarkan "bel" yang berbunyi di telinga kita. Firasat, begitu kata sebagian besar orang.

Aku membenci firasat buruk. Mereka mengatakan bahwa aku cukup "peka" ketika akan berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Perihal kehilangan, misalnya. Untuk alasan kepekaan inilah, maka aku membenci firasat, pertanda, bel, atau apapun itu.

Cukup. Sudah cukup aku mengalami beberapa kejadian yang membuatku merasakan begitu banyak penyesalan karena tidak mengindahkan hal-hal yang mereka sebut dengan firasat tadi. Sudah cukup aku mengalami kesedihan karena memilih untuk tidak melakukan apapun yang seharusnya aku lakukan sebelum kejadian kehilangan tersebut benar-benar aku alami. Cukup, kumohon hentikan.

Dan kali ini, aku harus mengalami momen kehilangan sekaligus penyesalan terberat dari semua kehilangan yang pernah aku alami; kehilangan seorang paman yang keberadaannya sudah seperti Ayahku sendiri, terutama semenjak 11 tahun terakhir -- ketika aku tinggal jauh dari rumah dan ke rumah pamanku di Jakarta adalah solusi saat aku rindu berada di dekat keluarga.

Percayalah, ini rasanya sungguh menyakitkan.

Aku, bahkan tidak pernah menyangka bahwa rasa sakitnya akan begitu hebat seperti ini.

Jika aku boleh memilih, aku ingin ketika pamanku menggerakkan kakinya saat aku berkesempatan mengusap kakinya ketika beliau masih koma di Rumah Sakit, itu adalah pertanda baik bahwa pamanku akan sadar dan pulih. Itu, kalau aku, boleh memilih.

Nyatanya...

Kurang dari dua jam sejak kedatanganku ke Rumah Sakit, pamanku dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. 

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.... 

Keluargaku mengatakan bahwa pamanku "sengaja" menunggu aku datang, baru kemudian beliau pergi. Mungkin ingin menitipkan adik-adikku -- sepupu-sepupu bungsuk -- kedua anak beliau. Mendengar pernyataan ini membuatku merasa malu, siapa aku hingga mendapat "kesempatan istimewa" seperti itu? Sebagai keponakan, tidak banyak yang pernah aku lakukan untuk beliau. Sebagai pribadi, aku sendiri merasa tidak sanggup mengurus diri sendiri. Tetapi, jika benar begitu alasannya, sudah saatnya aku semakin berbenah diri.

Jika aku berpikir lebih jernih lagi, kematian ini adalah obat paling mujarab bagi segala penyakit yang diderita oleh pamanku sejak setahun yang lalu. Iya, tepat setahun yang lalu, di momen Idul Adha yang sama, pamanku mulai terkena stroke. Dari pada harus menyaksikan pamanku kesakitan sampai entah kapan, aku lebih memilih pamanku disembuhkan dan diberikan kedamaian seperti sekarang. Kedamaian yang benar-benar damai. Tidak ada lagi kesakitan duniawi yang harus diderita oleh paman.

Banyak cerita penyerta lainnya, yang membuatku semakin lebih memilih untuk mengikhlaskan kepergian paman kesayanganku ini. 

Alhamdulillah...

Paman kesayangan pergi meninggalkan kami semua dalam kondisi yang begitu tenang, dengan wajah yang begitu bersih dan tampan.

Ingatan terakhir yang tergambar dengan jelas di kepalaku tentang beliau, bukanlah tentang bagaimana kondisi paman kesayangan ketika berada di rumah sakit, melainkan senyuman-senyuman yang diberikan kepadaku ketika beliau duduk di kursi roda -- pada saat kami bertemu dan berbincang santai terakhir kalinya, beberapa minggu yang lalu. 

Sepertinya, perihal kehilangan kali ini, akan membuatku tidak lagi main-main dengan suara-suara bel yang berdengung di hati dan pikiranku, yang mengajakku untuk bergegas memilih langkah agar tidak lagi menyesal kemudian... Terutama, jika bel tersebut menjadi pertanda akan sebuah kehilangan.

Sungguh, aku membenci kehilangan. Apalagi jika itu adalah kehilangan yang selamanya. Rasanya ternyata cukup melelahkan untuk melalui proses berduka. Namun, entah ini sayangnya atau untungnya, kehilangan juga merupakan sebuah keniscayaan, sebuah proses hidup. Suka ataupun tidak, memang harus dijalani. 

Then Almitra spoke, saying, We would ask now of Death*
And he said:
You would know the secret of death.
But how shall you find it unless you seek it in the heart of life?
The owl whose night-bound eyes are blind unto the day cannot unveil the mystery of light.
If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life.
For life and death are one, even as the river and the sea are one.

In the depth of your hopes and desires lies your silent knowledge of the beyond;
And like seeds dreaming beneath the snow your heart dreams of spring.
Trust the dreams, for in them is hidden the gate to eternity.
Your fear of death is but the trembling of the shepherd when he stands before the king whose hand is to be laid upon him in honour.
Is the shepherd not joyful beneath his trembling, that shall wear the mark of the king?
Yet is he not more mindful of his trembling?

For what is it to die but stand naked in the wind and to melt into the sun?
And what is it to cease breathing but to free the breath from its restless tides, that it may rise and expand and seek God unencumbered?

Only when you drink from the river of silence shall you indeed sing.
And when you have reached the mountain top, when you shall begin to climb.
And when the earth shall claim your limbs, then shall you truly dance. 


*
Taken from The Prophet by Gibran Khalil Gibran.


Special Note
Renungan 7 hari setelah Awan Kaprawi Rusli Kartadilaga (1958-2014) meninggal dunia pada hari Sabtu, tanggal 11 Oktober 2014, pukul 00.50 WIB.

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Njum,aku...

Bel tanda pergantian jam pelajaran sudah berbunyi dari jam sepuluh tadi, semakin mendekati jam dua belas, aku semakin gelisah.
Mata pelajaran sosiologi yang biasanya sangat aku sukai, hari ini terasa tidak begitu menarik. Aku sibuk melihat jarum jam pada jam tanganku. Pukul 10.50, waktunya tinggal sebentar lagi.
Hari Jumat ini aku harus bertemu dengan Njum, dia pasti akan menagih penjelasan dariku. Sedari tadi aku mencoba merangkai kata, menyusun penjelasan yang akan aku berikan pada Njum. Ya, Njum pasti akan meminta penjelasanku tentang bel itu. Bel sepedanya yang rusak saat sepeda itu dia titipkan padaku.
Aku harus mengatakan apa? Walaupun aku katakan bahwa aku tidak tahu, Njum pasti akan tetap meminta penjelasan. Ahhhh....perkara bel ini sungguh membuatku sulit.
Jarum pada jam tanganku semakin mendekati pukul dua belas. Tinggal beberapa menit lagi. Aku sudah dapat membayangkannya, Njum dengan gaya bicaranya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam akan menginterogasi aku.
Teeeeeeeeeetttttt!
Bel tanda jam pelajaran berakhir telah berbunyi. Aku bangkit dari kursiku, kurapikan seragamku dan dengan tidak bersemangat menuju pintu kelas.
Aku sudah melihatnya, dia menungguku di tangga yang menuju perpustakaan. Dari jauh senyum tipisnya sudah seperti menyambutku, pelan aku melangkahkan kaki ke arahnya.
Aku masih belum tahu, aku harus mengatakan apa.

Jumatulis Season 2 - 04 Bel – Penantian Kepulangan

sumber: pinterest.com

Asty melirik ke arah jam yang tergantung pada dinding ruang tengahnya, pukul sembilan malam.
“Harusnya kau sudah pulang…”
Ia membetulkan posisi duduknya, keningnya berkerut, keringat mulai bercucuran dari dahinya.
“Kau harus cepat pulang, agar semua ini selesai."
Ia kembali bergumam dengan kegelisahan yang tampak makin nyata di wajahnya.
Asty mulai gelisah, harusnya suaminya sudah pulang semenjak sepuluh menit yang lalu, ia mulai berjalan mondar-mandir sambil terus memasang kuping, pada suara bel dari depan rumah.
“Tidak, tidak… Dia pasti pulang cepat hari ini. Ia tak pernah pergi dengan perempuan jalang itu pada hari selasa.” Asty berbicara setengah berteriak, tangannya yang sedari tadi menggenggam pisau dapur teracung-acung ke depan. Napasnya memburu, turun naik bersamaan dengan mukanya yang berubah merah. Marah.
Asty terus mondar mandir sambil melirik jam dinding, menunggu bel depannya berbunyi yang menandakan kepulangan suaminya yang rencananya akan ia sambut dengan tikaman pisau dapur tepat di perut suaminya, yang selama ini diam-diam selingkuh di belakangnya.
***
Telepon berdering, dalam keterkagetan Asty tergopoh meraihnya. Dari kantor polisi, tabrak lari, katanya. Setelah berbicara singkat dan menutup telepon ia menyeringai bahagia. Sekarang ia tau, belnya tidak akan berbunyi.



Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Jasa yang Terbuang Sia-Sia

Setiap masuk ke dalam kamar, bel itu berbunyi. Sengaja kugantung di atas pintu kamarku. Sederhana. Hanya ingin merasa selalu disambut olehnya di setiap pulang dan pergiku. Dia yang selalu kukenang dalam mimpi dan nyata, gelap dan terang, hidup dan mati.

Tiga tahun sudah dia pergi. Hanya meninggalkan lonceng emas yang hanya punya satu bunyi. Sama sepertinya yang hanya punya satu kenangan di mataku.

---------------------

"Nyanyi dulu, yuk, sama-sama. Saya tulis dulu ya liriknya." Ujar Dosen bahasa Inggris di depanku yang sudah cukup tua, tapi masih sangat lincah.

Beberapa mahasiswa sudah sangat tak sabar untuk menyudahi sesi perkuliahan ini. Mereka memang tak pernah menyukai Dosen ini. Mereka pikir, Pak Jaya freak, membosankan, tidak bisa mendidik. Aku hanya bisa diam. Membenarkan keadaan yang digambarkan mereka, tapi tak sanggup mengeluh.

Beberapa baris kata sudah tertulis dengan (tidak) rapi di papan tulis putih. Teman-temanku mengeja dengan sulit, sambil sesekali bersuara. Berusaha untuk terlihat tetap semangat mengikuti irama nyanyian yang Pak Jaya tirukan.

When I was a student at Cadiz,
I played on the Spanish guitar, ching, ching!
I used to make love to the ladies,
I think of them still from afar, ching, ching!
Ring, ching, ching, Ring, ching ching, Ring out ye bells
Oh ring out ye bells, Oh ring out ye bells!
Ring ching ching, Ring ching ching, ring out ye bells,
As I play on my Spanish guitar. Ching, ching!

Sambil mengambil sebuah bel dari tasnya, ia bercerita dan berjalan mendekat ke arah tempat duduk mahasiswanya. "Saya berusaha memberikan banyak nyanyian sebelum kalian pulang dari perkuliahan saya. Niatnya, sih, supaya kalian bisa mengingat saya dan tak bosan dengan pelajaran saya." Tuturnya pelan. "Ini bel dari cucu saya yang kuliah di Kanada," lanjutnya.

"Tapi saya tetap nggak mengerti dengan metode belajar yang Bapak berikan." Salah satu mahasiswa berucap ketus. Raut wajah Pak Jaya berubah mendung, ia terdiam. Tepat di sebelahku. Menaruh bel lucu di mejaku, yang sedari tadi ia pegang.

"Mohon maaf, kamu mau belajar dengan cara apa, Yuan?" Tanya Pak Jaya. Suaranya kini yang berubah melemah, ada getar yang menunjukkan getir.

"Masa Dosen malah bertanya dengan muridnya?"

"Ya sudah, saya akan belajar untuk mengajar lagi nanti. Pelajaran hari ini sudah selesai. Semoga kalian selamat sampai rumah ya, anak-anakku..."

Belum selesai Pak Jaya berbicara, teman-teman saya sudah bergerak membereskan buku dan tasnya, lalu membaur ke luar ruangan kelar. Pergi ke tujuannya masing-masing; ke kantin untuk main, ke rumah teman, ke mall, atau ke mana pun yang membuatnya tak mengingat lagi pelajaran hari ini. Dalam hati, aku bertanya. "Siapa yang sebenarnya salah? Adakah ilmu yang salah alamat? Sang pengantar pesan yang tak tepat, ilmu yang belum cukup dilimpahkan, atau sang penerima yang belum membuka hati untuk ikhlas menerima?"

Satu bulan kemudian, Pak Jaya berhenti mengajar di kampusku. Ia sakit-sakitan dan tak pernah ada kabar yang jelas tentang keadaannya. Teman-temanku senang bukan main, beberapa minggu kelasnya kosong dan mereka tak perlu mendengar basa-basi Pak Jaya lagi. Satu minggu sebelum UAS, Dosen pengganti yang mendadak datang mengisi kelas bahasa Inggris, menggantikan peran Pak Jaya, hanya memberi beberapa kisi-kisi untuk dipelajari sebelum UAS. Kami semua pusing dan pasrah karena tak tahu harus menyiapkan apa untuk mata kuliah dasar ini.

Setelah UAS, kami mendapat kabar bahwa Pak Jaya telah meninggal dunia. Seluruh teman menangis, menyesal karena tak sempat -dan atau bahkan tak pernah berniat- menjenguk, bahkan meminta maaf atas semua kesalahan. Aku datang ke pemakaman, mencari salah satu anggota keluarga yang bisa kutanyakan perihal keadaannya yang membuatnya pergi selamanya.

"Depresi." Begitu jawaban singkat yang kudapat dari salah satu anak perempuannya, yang kutahu ternyata juga masih berstatus mahasiswa di perguruan tinggi di Bandung. Aku tersentak, merasa bersalah dan tak berani lama-lama menatap mata anaknya yang penuh duka. Mungkin anaknya Pak Jaya juga punya niat untuk memukulku. Salah satu anak yang tak mau diajar Ayahnya, dan membuatnya mati perlahan dan tersiksa.

Haruskah kita merasa kehilangan sebelum sadar ada kasih sayang yang terhalang ego?

Bel kecil ini akan selalu aku simpan. Semoga Beliau tak lagi merasa sendirian... atau terabaikan.




Sumber pencerahan: http://piphiblog.org/tag/ring-ching/

(Ditulis karena merasa bersalah pernah sebel sama beberapa Dosen di kampus. Salah satu Dosen pernah kasih lagu RIng Ching Ching ini di sela-sela pelajaran yang membosankan.)

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Akibat Membaca Saya Sakit Seminggu!

Menghabiskan uang bulanan dalam sehari karena berbelanja buku? Cek!
Rela tidak berbelanja pakaian, sepatu, tas dan alat makeup demi membeli buku? Cek!
Mendekam di rumah bermingu-minggu karena sibuk menamatkan timbunan buku dan tidak memiliki lagi uang sepeser pun? Cek!
Lupa makan, tidur, dan mandi karena buku? Cek!

Itu adalah sederet hal gila yang biasanya kulakukan terkait buku. Semua bermula sedari saya kecil, sewaktu saya bahkan belum bisa membaca. Orangtua saya, terutama Abah, sering mencecoki saya dengan buku anak-anak. Awalnya saya jatuh cinta pada ilustrasi-ilustrasi di dalamnya lalu saya terpesona pada kisah-kisah yang dibacakan untukku disetiap ada kesempatan. Tapi saat itu saya belum jatuh cinta pada buku itu sendiri, saya tidak merawat buku-buku pemberian itu dengan baik, yang sangat saya sesali saat ini. Tidak jarang, karena gemes pada ilustrasinya, saya pun mengguntingnya dan menjadikannya permainan bongkar pasang atau sekedar saya tempel di tembok. Baru ketika duduk di kelas 3 SD, kecintaan saya pada buku itu muncul. Saya pun mulai mengoleksinya. Tapi tetap saja, buku-buku itu banyak juga yang hilang dan rusak apalagi jika dipinjam oleh orang lain.

Hal yang sangat gila yang saya lakukan adalah ketika saya duduk di kelas 2 SMP. Saya yang bersegera mengunjungi toko buku sepulang sekolah demi mendapatkan seri ke lima Harry Potter, Harry Potter and The Order Of Phoenix, harus menelan kepahitan karena tidak diperbolehkan masuk ke mol (tempat di mana toko buku itu berada) karena masih menganakan seragam sekolah. Saya pun harus pulang untuk mengganti baju terlebih dahulu. Barulah ketika malam saya diantar ke sana. Tanpa ragu saya pun mengambil seri ke lima Harry Potter itu. Tapi tunggu... ada satu buku lagi yang menarik perhatian saya. Eragon! Karangan Christopher Paolini. Saya pun mengambilnya dan dengan dua buku itu bersegera menuju kasir... tapi... aduh ada satu buku lain lagi yang menarik perhatian saya, Abarat. Tapi bagaimana ini? Uang saya tidak cukup. Dengan membeli Harry Potter dan Eragon saja, sudah dipastikan dalam sebulan ke depan saya harus menahan lapar di sekolah. Jika turut membeli Abarat, dengan apa saya pergi ke sekolah? Berjalan kaki? Tentunya tidak mungkin, jarak rumah dari sekolah sangat jauh. Maka saya pun dengan berat hati meninggalkan Abarat tersebut san hanya membawa pulang dua buku.

Dan di sinilah kegilaannya dimulai, sesampai di rumah saya langsung merobek plastik segel Harry Potter ke lima itu dan langsung membacanya... Tanpa mengganti baju saya terus hanyut ke dalam ceritanya. Tidur? Tentu saja tidak. Saya hanya berhenti membacanya saat ingin buang air kecil setelah itu melanjutkan membacanya kembali. Ketika matahari mulai terbit saya menghentikan membaca kemudian mandi, pakaian lalu berangkat ke sekolah (tanpa memejamkan mata sedikit pun). Tentu saja buku itu saya bawa serta ke sekolah, padahal di sekolah sudah seminggu ini ada razia tas. Komik maupun buku-buku selain buku pelajaran sudah banyak yang disita, tapi entah hal apa yang merasuki saya, saya tetap membawa buku tersebut. Selama di angkot, saya terus membaca hingga sampai di sekolah. Ketika pelajaran di mulai, saya terus membacanya dengan meletakkannya di bawah meja, sebentara buku pelajaran saya letakkan di atas meja dalam keadaan terbuka, yang menimbulkan kesan seolah-olah saya sedang membaca buku pelajaran tersebut. Bahkan saat waktu istirahat pun saya terus membacanya, ya selain saya memang tidak punya uang lagi untuk jajan di kantin.

Begitu terus hingga bel tanda berakhirnya sekolah berbunyi...
Saya mengemasi barang-barangku lalu pulang. Saat diperjalanan menuju rumah saya menamatkan buku itu lalu tertidur di atas angkot. Saya tertidur pulas dan dengan sukses melewatkan rumah saya sehingga harus turun dan mengganti angkot yang ke arah sebaliknya.

Di rumah saya menyempatkan mengganti baju dan makan lalu membuka segel plastik Eragon. Tanpa terduga, saya tenggelam begitu dalam pada kisahnya sehingga pola membaca Harry Potter terulang. Saya tak bisa meletakkannya hingga menamatkannya. Saya samar-samar masih mengingatnya, Eragon saya tamatkan ketika azan subuh berkumandang di mesjid. Alhasil? Kepala saya sakitnya luar biasa, seakan-akan ada bel yang berbunyi nyaring  di kepala saya dan dengan sukses selama seminggu ke depan saya demam tinggi. Sempat orang rumah mengira saya terjangkit DBD, tetapi setelah dibawa ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya terlalu capek. Hihihihi...

Dan apakah saya tobat membaca gila-gilaan seperti itu?
Awalnya ia, tetapi saat kelas 3 SMA pola yang sama terulang lagi. Jauh hari saya sudah mem-PO buku terakhir Harry Potter (Ia, kali ini karena buku Harry Potter lagi) dan saat buku itu terbit saya pun langsung mengambilnya di toko buku. Dalam perjalanan pulang saya sudah mulai membacanya, terus membacanya hingga matahari pagi terbit. Dan... saya sakit lagi selama seminggu, kini ditambah dengan diare dan muntah-muntah... Padahal saat itu sudah mendekati ujian akhir... Duh!






#Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Bunyi Bel

Ting..Tong.

Bel rumah berbunyi, dan seperti rumah lainnya yang memiliki bel dengan bunyi yang sama. Terkadang memang harus berlari dari lantai dua rumah, kemudian menuruni tangga dengan terburu-buru karena mendengar suara bel berbunyi, ternyata itu yang berbunyi adalah suara bel tetangga rumah yang tinggal di sebrang. Atau terkadang suara bel dari sebelah kanan rumah, mungkin bel dari rumah sebelah kiri. Atau juga bisa jadi, itu suara bel dari rumah yang berada di ujung jalan dekat dengan toko kelontong yang dimiliki oleh Nyonya Cin.

Ternyata Raymond, seorang remaja tanggung yang senang mengunyah permen karet dan setiap kali aku membuka pintuku, dia sedang meniup gelembung balonnya dan kemudian meledakkannya tepat saat dia menyerahkan susu sapi yang masih murni dari peternakan milik Kakeknya, kepadaku.
Bel berbunyi lagi, aku kurang beruntung karena ternyata itu suara bel dari rumah milik Tisha yang tinggal di sebrang rumahku. Ternyata itu seorang pengasuh anak. Dia sering menggunakan jasa perempuan paruh baya dengan baju yang selalu itu-itu saja, setiap hari Kamis. Ingat, setiap hari kamis dan entah dia pergi kemana. Anak-anaknya yang berjumlah lima orang dengan jarak hanya satu tahun setiap anak, mereka sangat berisik sekali setiap Tisha mulai meninggalkan rumah, ada yang berteriak, terkadang pengasuh mereka yang berteriak melarang beberapa yang mencoba untuk kabur dari rumah.

Pukul tiga sore, kembali ramai sekali di depan rumahku. Anak Tisha yang paling besar sedang menyiram adik-adiknya dengan selang hingga seluruh rumah mereka basah! Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka. Itu kenapa aku menolak untuk menikah. Karena aku tidak ingin berkomitmen juga tidak ingin memiliki anak. Mereka sangat-sangat menyeramkan!
Aku terbangun dini hari, entah jam berapa karena suara bel yang menggangguku. Membuka pintu kamar dengan malas, menuruni tangga dengan langkah gontai kemudian membuka kunci pintu dengan tidak berselera. 

"Miss, boleh saya meminta tolong pada Anda?"

Ternyata pengasuh anak-anak Tisha. Entah apa yang dilakukannya tengah malam seperti ini. Aku hanya mengangguk, walaupun sebenarnya aku ingin segera menutup pintu rumah.

"Seorang polisi tadi menelpon dan sekarang mereka ada di rumah. Bisakah kau menolongku?"

***

Sudah dua bulan aku mulai bisa menikmati suara ramai yang terdengar tanpa jeda dan tanpa ada istirahat kecuali mulut kecil mereka sedang terkatup rapat saat tidur. Lima orang anak, kini tinggal di rumahku. 

"I love you, Ma!"

Kecupan dari anak paling kecil, yang aku kuncir menyerupai buntut kuda, membuat hariku lebih menyenangkan. Kami akan pergi ke suatu tempat, yang akan membuat mereka terkenang selalu dengan Tisha.

"Ma, apakah Mommy sedang tidur?"

"Iya, Mommy tidur dengan tenang di sini."

Pemakaman St. Hill memang sejuk, berbeda dengan yang lain. Tapi yang membedakan dengan makam yang lain adalah Tisha memiliki cinta yang tak pernah kenal lelah dan akan selalu menyertainya hingga dia abadi di hati kelima anaknya.

image

Thursday, October 16, 2014

Jumatulis Season 2- 03 Pesona - Blood Moon

*POSTINGAN HUKUMAN!*

Idul Adha adalah hari raya yang paling Uti sukai. Di hari itu, keluarga Uti akan menerima banyak daging, paling sedikit lima kantung plastik. Dan malamnya, Mamak akan memasak daging itu, dibuat sup ataupun disemur. Enak sekali!!!

Saat-saat itulah Uti sekeluarga bisa menikmati daging yang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada Idul Adha. Sebulan lebih, dengan daging pemberian orang-orang yang berkurban itu, keluarga Uti dapat menyantap daging bak seorang raja. Jika daging pemberian itu sangat banyak, Mamak akan membagi daging tersebut menjadi tiga tumpukan; tumpukan pertama untuk di masak dalam keadaan segar, tumpukan kedua dan ketiga akan mamak rebus – kaldunya di simpan tentu saja – setelah direbus, tumpukan kedua akan Mamak taburi garam kemudian dipukul-pukul hingga gepeng lalu di jemur hingga kering, tumpukan ketiga akan Mamak suir-suir dan disangrai dengan kelapa. Uti dan kedua saudaranya tentu saja memantu Mamak.

Daging asin dan serundeng daging itu akan Mamak simpan dalam wadah dan diletakkan di dalam lemari. Makanan itu akan dihidangkan dihari-hari spesial saja, ulang tahun misalnya atau jika Ambe tidak mendapatkan lurang beberapa hari.

Senangnya lagi, setelah marak di TV kajadian meninggalkanya beberapa orang karena berebutan mengambil daging beberapa tahun yang lalu, kini daging itu langsung diantarkan ke rumah mereka oleh panitia mesjid. Uti tak perlu lagi bersama Mamak, Ambe dan kedua kakaknya berpanas-panasan mengantri daging, tak perlu lagi sesak-sesakan berdempetan. Meskipun memang jika mengantri sendiri, kemungkinan dagingnya dua kali lipat lebih banyak. “Kita to harus sukuri apa yang ada, apa yang dikasi ki ma Tuhan. Ini tong mi rejeki ta.” Kata Mamak saat salah seorang kakak Uti mengeluhkan hal tersebut.

Sore ini, sudah ada enam kantung plastik daging yang diantarkan ke rumah, Uti sekeluarga sudah mulai sibuk di dapur mengolah daging-daging itu...
*****
Perempuan Itu mulai merasa cemas, tersisa tiga hari lagi sebelum gerhana bulan total yang telah lama ia nanti-nantikan, tetapi dia belum juga menemukan anak yang tepat. Anak yang polos dan bahagia. Anak yang dicintai, yang menerima banyak cinta. Dan tentu saja harus anak perempuan, dia tidak suka menjadi laki-laki.

Memasuki usia seratus tiga puluh lima tahun, Perempuan Itu kini tak muda lagi. Dia telah terlihat seperti perempuan dewasa berusia tiga puluh lima tahun, tante-tante, dan dia tidak menyukainya. Dia merasa pesonanya telah memudar. Dia memang benci menjadi tua! Dia ingin kembali berusia enam tahun, sebagaimana yang ia ingat adalah saat-saat terbahagia dalam hidupnya. Tapi bagaimana ini? Dia belum menemukan anak yang tepat .Anak yang kehidupannya ingin ia gantikan.
*****

“Tiii..”
“Iye’ Ambe?” tergopoh-gopoh dari dapur, Uti menghampiri ambe yang baru saja masuk ke dalam rumah.
“Mau ki ikut ambil daging? Sekalian bantu Ambe bawaki sebagian.”
“Banyak kah Ambe? Di mana?”
“Endak ji juga banyak sekali ia... malu mi kah Uti jalan-jalan naik becak na Ambe?”
“Ih! Sembarang na Ambe deh!” Kata Uti sambil memasang muka cemberut.
Tersenyum, Ambe pun mengacak-acak rambut Uti dengan gemas lalu berkata, “Ayo mi pade...minta izin dulu sama Mamak mu”
Mengangguk riang, Uti segera ke dapur meminta izin kepada Mamak. Kedua saudara Uti sebenarnya ingin ikut juga tetapi mengurungkan niat melihat banyaknya pekerjaan Mamak.

“Mauki ambil daging di mana ini kah Ambe?” Tanya Uti lagi di atas becak. Ia palingkan badannya menghadap Ambe yang sedang mengayuh becaknya sambil bersiul-siul.
“Di rumah na langganannya Ambe. Kemarin waktu ku antarki ke pasar na suru ki datang ambil daging.” Jawab Ambe.
“Ohhhh...”
*****
Adalah Daeng Tallasa’, tukang becak langganan Perempuan Itu. Daeng Tallasa’ memang mangkal di depan kompleks rumahnya, menganu nasip bersaing dengan ojek dan bentor yang kini lebih populer. Perempuan Itu sendiri tidak menyukai naik bentor, apalagi naik ojek, maka becaklah alternatif satu-satunya yang ia miliki untuk masuk maupun keluar dari kompleks rumahnya. Untuk mengendarai mobil sendiri dia tidak bisa. Dan berawal dari sanalah ia berkenalan dan memilih berlangganan becak dengan Daeng Tallasa’.

Dia menaruh hormat yang teramat besar kepada Daeng Tallasa’. Pembawaannya yang ceria tetapi sopan serta bisa dipercaya membuat Perempuan Itu merasa nyaman dan menaruh kepercayaannya. Entah... terkadang Daeng Tallasa’ mengingatkannya kepada sosok sang bapak, yang begitu cepat direngut darinya. Dan ya, Perempuan Itu menyayangi si tukang becak yang sepuh itu.

Tanpa disangka-sangka, kedatangan Daeng Tallasa’ bersama putrinya, Uti memberikan harapan terhadapnya yang mulai berputus asa...

“Ini anak ta Daeng?” Kata Perempuan itu sambil menyerahkan tiga bungkusan besar kepada Daeng Tallasa’.
“Iye’ anak ku ini. Yang bungsu.” Jawab  Daeng Tallasa sambil menerima ketiga bungkusan tersebut.
“Sini ki ku bantu Ambe.” Kata Uti mengambil salah satu bungkusan dari tangan Ambenya.
“Siapa nama ta?” Tanya Perempuan itu kepada Uti.”
“Uti.” Jawab Uti cepat. Tersenyum, dengan susah payah ia mengangkat bingkisan di pelukannya dan meletakkannya di atas becak. Ia pun turut naik ke atas becak, duduk manis sambil bersenandung riang.
“Makasih pade nak buat dagingnya. Puas na mi ini orang rumah makan daging. Hahaha...” Kata Daeng Tallasa’ sambil menuju becaknya diikuti oleh Perempuan itu. Setelah meletakkan kedua bungkusan ke atas becak ia menegur Uti, “Tii dak bilang terimakasih ma kakak?!!”.
“Hahaha dak papa ji tawwa Daeng.” Kata Perempuan itu.
Malu-malu Utii menjulurkan kepalanya dan berkata, “Makasih kakak.”
“Sama-sama Uti.” Ucap Perempuan itu sambil mengusap-usap lembut kepala Uti. Dalam hati ia menera Uti, mengguna-gunainya, sehingga tepat pada saat yang ia inginkan Uti akan tertidur pulas dan rohnya akan melayang-layang meninggalkan tubuhnya.
*****


8 Oktober 2014

Langit Makassar dihiasi bulan berwarna merah. Yang terjadi karena bulan ditutupi oleh bayangan bumi dan cahaya matahari yang terbiaskan oleh atmosfer bumi menyebabkan kesan kemerah-merahan. Orang-orang menatap ke angkasa dengan kagum. Beberapa mengabadikan moment itu dengan kameranya lalu memamerkannya di sosial medianya. Dengan bangga memamerkan keindahan bulan yang tertangkap mata telanjang di kotanya. Miris... Mereka tidak tahu, mungkin tidak peduli, bahwa makin indah warna merah bulan itu di kota mereka, menandakan tingginya polusi di kota mereka.

Uti yang begitu semangat siang tadi ingin menyaksikan gerhana bulan tersebut kini tertidur pulas...