Friday, October 17, 2014

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Jasa yang Terbuang Sia-Sia

Setiap masuk ke dalam kamar, bel itu berbunyi. Sengaja kugantung di atas pintu kamarku. Sederhana. Hanya ingin merasa selalu disambut olehnya di setiap pulang dan pergiku. Dia yang selalu kukenang dalam mimpi dan nyata, gelap dan terang, hidup dan mati.

Tiga tahun sudah dia pergi. Hanya meninggalkan lonceng emas yang hanya punya satu bunyi. Sama sepertinya yang hanya punya satu kenangan di mataku.

---------------------

"Nyanyi dulu, yuk, sama-sama. Saya tulis dulu ya liriknya." Ujar Dosen bahasa Inggris di depanku yang sudah cukup tua, tapi masih sangat lincah.

Beberapa mahasiswa sudah sangat tak sabar untuk menyudahi sesi perkuliahan ini. Mereka memang tak pernah menyukai Dosen ini. Mereka pikir, Pak Jaya freak, membosankan, tidak bisa mendidik. Aku hanya bisa diam. Membenarkan keadaan yang digambarkan mereka, tapi tak sanggup mengeluh.

Beberapa baris kata sudah tertulis dengan (tidak) rapi di papan tulis putih. Teman-temanku mengeja dengan sulit, sambil sesekali bersuara. Berusaha untuk terlihat tetap semangat mengikuti irama nyanyian yang Pak Jaya tirukan.

When I was a student at Cadiz,
I played on the Spanish guitar, ching, ching!
I used to make love to the ladies,
I think of them still from afar, ching, ching!
Ring, ching, ching, Ring, ching ching, Ring out ye bells
Oh ring out ye bells, Oh ring out ye bells!
Ring ching ching, Ring ching ching, ring out ye bells,
As I play on my Spanish guitar. Ching, ching!

Sambil mengambil sebuah bel dari tasnya, ia bercerita dan berjalan mendekat ke arah tempat duduk mahasiswanya. "Saya berusaha memberikan banyak nyanyian sebelum kalian pulang dari perkuliahan saya. Niatnya, sih, supaya kalian bisa mengingat saya dan tak bosan dengan pelajaran saya." Tuturnya pelan. "Ini bel dari cucu saya yang kuliah di Kanada," lanjutnya.

"Tapi saya tetap nggak mengerti dengan metode belajar yang Bapak berikan." Salah satu mahasiswa berucap ketus. Raut wajah Pak Jaya berubah mendung, ia terdiam. Tepat di sebelahku. Menaruh bel lucu di mejaku, yang sedari tadi ia pegang.

"Mohon maaf, kamu mau belajar dengan cara apa, Yuan?" Tanya Pak Jaya. Suaranya kini yang berubah melemah, ada getar yang menunjukkan getir.

"Masa Dosen malah bertanya dengan muridnya?"

"Ya sudah, saya akan belajar untuk mengajar lagi nanti. Pelajaran hari ini sudah selesai. Semoga kalian selamat sampai rumah ya, anak-anakku..."

Belum selesai Pak Jaya berbicara, teman-teman saya sudah bergerak membereskan buku dan tasnya, lalu membaur ke luar ruangan kelar. Pergi ke tujuannya masing-masing; ke kantin untuk main, ke rumah teman, ke mall, atau ke mana pun yang membuatnya tak mengingat lagi pelajaran hari ini. Dalam hati, aku bertanya. "Siapa yang sebenarnya salah? Adakah ilmu yang salah alamat? Sang pengantar pesan yang tak tepat, ilmu yang belum cukup dilimpahkan, atau sang penerima yang belum membuka hati untuk ikhlas menerima?"

Satu bulan kemudian, Pak Jaya berhenti mengajar di kampusku. Ia sakit-sakitan dan tak pernah ada kabar yang jelas tentang keadaannya. Teman-temanku senang bukan main, beberapa minggu kelasnya kosong dan mereka tak perlu mendengar basa-basi Pak Jaya lagi. Satu minggu sebelum UAS, Dosen pengganti yang mendadak datang mengisi kelas bahasa Inggris, menggantikan peran Pak Jaya, hanya memberi beberapa kisi-kisi untuk dipelajari sebelum UAS. Kami semua pusing dan pasrah karena tak tahu harus menyiapkan apa untuk mata kuliah dasar ini.

Setelah UAS, kami mendapat kabar bahwa Pak Jaya telah meninggal dunia. Seluruh teman menangis, menyesal karena tak sempat -dan atau bahkan tak pernah berniat- menjenguk, bahkan meminta maaf atas semua kesalahan. Aku datang ke pemakaman, mencari salah satu anggota keluarga yang bisa kutanyakan perihal keadaannya yang membuatnya pergi selamanya.

"Depresi." Begitu jawaban singkat yang kudapat dari salah satu anak perempuannya, yang kutahu ternyata juga masih berstatus mahasiswa di perguruan tinggi di Bandung. Aku tersentak, merasa bersalah dan tak berani lama-lama menatap mata anaknya yang penuh duka. Mungkin anaknya Pak Jaya juga punya niat untuk memukulku. Salah satu anak yang tak mau diajar Ayahnya, dan membuatnya mati perlahan dan tersiksa.

Haruskah kita merasa kehilangan sebelum sadar ada kasih sayang yang terhalang ego?

Bel kecil ini akan selalu aku simpan. Semoga Beliau tak lagi merasa sendirian... atau terabaikan.




Sumber pencerahan: http://piphiblog.org/tag/ring-ching/

(Ditulis karena merasa bersalah pernah sebel sama beberapa Dosen di kampus. Salah satu Dosen pernah kasih lagu RIng Ching Ching ini di sela-sela pelajaran yang membosankan.)

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)