Friday, November 28, 2014

Jumatulis Season 2 - 10 Perjalanan - Tentang Tian dan Hitungan Waktu

Aku tak hanya mengunjungimu, melalui dua jam perjalanan yang membosankan.
Aku seperti mengenal lagi masa lalu, tapi dengan rasa yang berbeda.
Tapi tatapmu, tetap sama.
Penuh ambisi dan harap bahagia.

Tian, jangan pernah lelah melangkah.
Aku tahu bagaimana perihnya mata yang terus dipaksa terjaga, tapi aku tak mampu bertahan membuatnya tetap teduh
Yang mampu bagiku kini, adalah tetap mengenalmu dengan embusan napas yang perlahan menguat di dalam dada yang bukan milikmu.
Mungkin, itu milikku.

Kuasa Tuhan yang telah menghadirkanmu di sini, telah cukup membuatku tak pernah lelah mengucap syukur sekian kali yang tak tahu hitungan.

Jumatulis Season 2 - 10 Perjalanan - Lagu Ebiet

Temanya perjalanan.
Begitu tema yang harus ditulis jumat ini.

Begitu disebut kata perjalanan, sontak yang terbayang adalah lagu Ebiet... "Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan..."

Setiap kali ingat bahwa tema Jumatulis adalah perjalanan, lagi-lagi lagu Ebiet itu terngiang dan dinyanyikan otomatis. "Sayang kau tak berada di sampingku kawan..."

Lagu itu seolah menjadi soundtrack yang mengiringi aktivitas beberapa hari ini. Begitu tersadar bahwa harus menyiapkan tulisan di hari jumat dengan tema perjalanan, mulut saya segera menyanyikan lagu Ebiet lagi tanpa diminta. "Banyak cerita, yang mestinya kau saksikan..di tanah kering bebatuan..."

Racun memang lagu Ebiet itu, dan kenapa pula menyanyikannya harus mengikuti gaya Ebiet? Benar-benar sebuah misteri yang nyata.
"Hoooo.....hooo....hoooo..."
"Kawan coba dengar apa jawabnya...."

Dan lagu Ebiet kembali dinyanyikan.

Friday, November 21, 2014

Jumatulis Season 2 - 09 Beranda - Suatu Sore di Beranda

Sore ini hujan turun deras, setelah seharian mendung bergelayut di atas sana. Udara lembab yang gerah, yang serasa berada di dalam sauna akhirnya berganti dengan udara sejuk yang menghapus keringat dan mendinginkan kulit. Dunia seakan-akan menghembuskan napas lega... Perempuan Itu, saat mendengar suara hujan, menghentikan pekerjaan yang sedang ia lakukan dan keluar ke beranda rumahnya. Ia segera larut dalam pesona hujan, memandanginya dan terus memandanginya tanpa memikirkan apa-apa.

“Bagaimana hujan terjadi?”

Tersentak, Perempuan Itu menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Gadis Kecil berdiri di sampingnya. Rambut sebahunya diikat ekor kuda dan tubuhnya terbungkus jaket tebal selutut berwarna kuning pisang, ia juga memakai sepatu bot anti air berwarna senada dengan jaketnya.

“Kau sudah datang.”

“Hujan itu cantik ya, suaranya merdu, tik tik tik...”

“Ia sangat cantik.”

“Mau main hujan?”

“Tidak. Kamu saja.” Gadis Kecil menatapnya dengan mimik memohon yang sangat memelas, yang akan menyentuh hati siapa pun, kecuali dirinya. Dia menggeleng dan mimik itu seketika berganti mimik merajuk yang sangat menggemaskan. “Tidak”, katanya lagi. Gadis Kecil dengan muka cemberut membuka jeket dan sepatunya lalu berlari ke dalam hujan. Ia tahu, sekali Perempuan Itu berkata tidak, sekeras apa pun ia berusaha membujuknya, dia tetap tidak akan berubah pendirian. Gadis Kecil sering membayangkan Perempuan Itu seperti batuan gunung yang tak tergoyahkan bahkan ketika dilanda badai ataupun gempa.

Hujan seakan menyambutnya, ia bertambah deras dan terus bertambah deras. Gadis Kecil menari-nari, bernyanyi-nyanyi, melompat-lompat meniru kodok, bahkan berguling-guling di tanah yang becek. Perempuan Itu tersenyum dan menggeleng-geleng menyaksikan tingkah Gadis Kecil.

Dia pun beranjak dari beranda dan menuju dapur. Segera sibuk membuat segelas susu coklat panas untuk Gadis Kecil dan sepoci teh panas untuknya. Dengan sekaleng biskuit sebagai teman cemilan di sore hari itu. Dan kembali ke beranda menikmati hujan sekaligus mengawasi Gadis Kecil.

Mereka berdua menyukai hujan. Bedanya, saat hujan Gadis Kecil ingin segera berlari menyambut sang hujan dan bermain hinggah kuyup di dalamnya sedangkan Perempuan Itu lebih memilih menikmatinya dari tempat yang kering yang tidak membuatnya basah kuyup. Perempuan Itu tidak suka rambutnya lepek, makeupnya blepotan karena hujan. Gadis Kecil tidak peduli seluruh tubuhnya basah, bajunya blepotan lumpur, dan mungkin saja dia akan demam selepas bermain hujan itu, dia tidak peduli, kebahagiaan dan keceriaan yang ia rasakan saat itu adalah hal yang paling penting baginya. Perempuan Itu hanya suka memandangi hujan dan menjadi melankolis karenanya...

Setelah puas bermain hujan, Gadis Kecil masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mandi. Membasuh badannya yang berlumuran lumpur dan berganti pakaian. Kemudian dia akan duduk manis disebelah Perempuan Itu, meneguk susu panasnya dengan penuh sukur. Untuk beberapa saat mereka akan duduk diam seperti itu, meneguk minuman masing-masing, mengunyah biskuit, dan tenggelam dalam lamunan atau pikiran masing-masing.

Gadis Kecil berharap ketika suatu saat nanti dia menjadi dewasa -- dia harap tidak, semoga saja tidak – dia ingin seperti Perempuan Itu; rupanya, pembawaannya, dan raut keibuan penuh kasih ketika memandangnya. Perempuan Itu lain lagi, kadang ia merasa iri pada kepolosan, spontanitas, dan rasa percaya yang dimiliki Gadis Kecil. Seakan-akan dunia ini tempat yang paling indah, mengasikkan dan aman ketika kita melihat dari kacamatanya. Semua manusia, semua makhluk baik dan patut dipercayai. Tak ada rasa curiga di hatinya... seandainya Perempuan Itu bisa seperti itu... tapi tidak, dia terlanjur menaruh curiga pada segala hal, bahkan kebaikan yang ditujukan kepadanya. Dia akan bertanya-tanya ada maksud terselubung apa ketika seseorang memberinya pertolongan, dan seberapa banyak dia akan berhutang budi.

Hidup akan menjadi terlalu rumit dan melankolia jika menyangkut Perempuan Itu dan hidup akan jauh lebih menyenangkan dan dipenuhi petualangan mengasikkan jika menyangkut Gadis Kecil. Dengan perbedaan itu, keduanya malah berteman akrab. Dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Mereka punya jadwal bertemu setiap harinya, di sore hari menjelang senja, atau di malam hari ketika manusia dan makhluk lainnya telah terlelap.

Jumatulis Season 2 - 09 Beranda - Beranda Impian

Letaknya akan terasa indah bila terletak di samping rumah kami. Harus di samping, tidak di depan, tentu saja di depan rumah kami harus ada juga beranda tapi beranda impian saya yang terletak di samping adalah yang istimewa.
Seperangkat kursi dari kayu akan menjadi penghuni beranda tersebut, warna kayu yang hangat akan memberi rasa nyaman bagi siapapun yang menghabiskan waktu di situ. Pot-pot mungil dengan beraneka jenis bunga juga harus ada di sana. Sebuah meja bundar akan diam di sudut beranda, tempat saya meletakkan buku-buku ketika menikmati waktu di sana. Pemandangan yang akan memanjakan mata kami adalah hamparan rumput hijau dan tanaman pagar serta pohon-pohon yang akan memberi kesan teduh dan segar.
Hmmm....membayangkannya saja sudah membuat hati saya senang, beranda impian.

Friday, November 14, 2014

Jumatulis Season 2 - 08 Reuni - Dua Orang yang Dikenang Seumur Hidup

Musim basah itu kini kembali lagi dengan curah yang sama, namun perasaan yang berbeda. Aku mengunjungi ingatan yang pernah tersayat dan tambalan-tambalan tanda pernah disembuhkan. Sejenak, kupikir semua ini hanya kenangan masa lalu yang telah kutinggalkan ribuan jejak sampai detik ini. Tapi, kembali ke sini mengingatkanku bahwa ada sebuah pintu yang tak pernah menemukan kuncinya. Sebab sebuah kesalahan akan terbayar lunas dengan sebuah maaf. Dan batu nisan di hadapanku tak pernah memberi jawaban atas maaf yang selalu kuminta puluhan tahun ini.

Tiga pembunuh bertemu lagi di tanah yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang sudah mengulang puluhan kali. Satu masih hidup, dua sudah mati. Aku, si cacat yang berhasil hidup, tak pernah tahu rasanya dimaafkan. Bahkan dengan dua bongkah batu yang menjulang dua jengkal, yang katanya punya nama, tapi tak pernah bersuara.

Apa semua kenangan ini akan selalu bertemu kembali di tempat yang sama disetiap tahunnya seumur hidup, tanpa pernah bisa menemukan kunci dari sebuah pintu yang kuharap akan terbuka, suatu saat nanti? Yang kutahu... Pintu maaf itu tak akan pernah terbuka. Sebab si pemegang kunci telah masuk ke pintu berbeda yang mungkin tak bisa juga kutemukan. Pintu yang kelak akan mengadilinya atas apa yang ia perbuat sebelum ia mati. Pembunuhan...

Jumatulis Season 2 - 08 Reuni - 020202

REUNI IPS 1: 02-02-2002
Begitulah tulisan yang terpampang di papan tulis kelas kami.
Ide itu terlontar setelah kami pulang dari studi tur ke Kampung Naga dan Pangandaran.
Kebersamaan ketika studi tur ternyata mempererat pertemanan kami. Padahal kami hanya satu tahun ajaran saja menjadi teman sekelas, tapi mengingat setelah studi tur ini masa kebersamaan kami sebagai teman sekelas akan segera berakhir dan justru kami merasa semakin dekat, belum berpisahpun kami sudah merencanakan pertemuan kembali.
Akhirnya kami semua harus berpisah, setelah kelulusan yang kami rayakan di laut Palabuan Ratu. Sebelum benar-benar berpisah kami semua berjanji bahwa lima tahun lagi di tanggal 02 bulan 02 tahun 2002 kami akan bertemu kembali.
Catatan akhir:
Tanggal 02 bulan 02 tahun 2002 kami benar-benar bertemu kembali. Kami reuni di acara pernikahan teman sekelas kami yang sengaja melangsungkan pernikahannya pada tanggal tersebut.

Jumatulis Season 2 - 08 Reuni - Sekedar Cuap-Cuap

Tema Jumatulis hari ini Reuni...saya tau, mamah Asti saat mengeluarkan tema ini terpengaruh hebohnya film mini AADC. Pasti Mamah terkenang masa-masa mudanya, masa-masa dimana ia rela antri untuk menonton film AADC itu. Saya sendiri, di tahun 2002 baru duduk di kelas 6 SD. Masih unyu-unyunya dan tentunya belum bisa masuk bioskop untuk menonton film seperti ini (dulu adegan ciuman udah uwoooowoooo banget si). Belakangan, saya menonton film ini dari dvd bajakan yang dibeli sepupu, juga dari TV. Saya menyukai film AADC ini, ceritanya tidak lebay macam film berlatar SMA zaman sekarang dan... errr... saya lupa apalagi yang membuat saya menyukai film tersebut. Hahahaha...

Nah saat menonton mini film AADC ini saya sadar, memori saya campur aduk antara film AADC dan GIE, Catatan Seorang Demonstran. Apalagi saat Rangga baca puisinya, mirip Gie banget ya?!! Hahahaha...
Terus kenapa? Ya enggak apa-apa si. Hihihi... Terus hubungannya dengan reuni apa? Ya enggak ada juga si ._. #plak

Jujur ya, saya gak tau mau nulis apa perihal “Reuni” ini. Soalnya aku baru lulus SMA, enam tahun yang lalu – eh sudah lama juga ternyata – dan masih seringlah ketemu teman-teman SMA, meskipun memang tidak sama lagi seperti saat bersekolah. Terakhir ketemu sahabat SMA waktu kawinanku dan ngumpul-ngumpul sahabat SMP bulan lalu. Jadi ya...

Terakhir waktu iseng cek Find Alumninya Line aku nemu lelaki yang imut, teman SMA bahkan dulu satu jurusan di IPS. Tapi kayaknya dia dulu gak cakep kayak gitu deh, apa aku yang gak pernah merhatiin ya?!!! Hahahah


Oh ia, reuni juga gak selamanya dengan teman sekolah ya. Saat ini keluargaku lagi ngumpul-ngumpul. Ya ngumpulnya si karena ada kabar duka, tetapi hal positif dari kabar duka itu ya ngumpul ^^

#Jumatulis Season 2 - 8 Reuni - Secangkir teh manis hangat

Ada teh manis hangat dalam secangkir gelas bening. Bergaris-garis bak lekukan seorang perempuan. Warna coklat kemerah-merahan, sebagai tanda berasal dari daun teh berkualitas. Mungkin sama seperti Malika yang berasal dari kedelai berkualitas juga. Tapi teh ini belum pernah bertemu dengan Malika.

Tapi suatu ketika, saat terhidang di meja kayu, menemani sang Bapak berkumis, sambil menonton berita di televisi. Di sampingnya ada koran, sesekali dia melirik sambil membaca berita-berita tentang tanggapan pidato Presiden saat APEC. Di bawahnya, seperti biasa, kolom berita kriminal. Tidak ada yang menarik.

Di lembar kedua, ada kisah tentang harga BBM yang melonjak lagi untuk kesekian kali. Katanya mencekik leher orang-orang yang tidak mampu. Padahal yang sering berteriak justru orang-orang yang memilii mobil pribadi namun enggan untuk mengisinya dengan pertamax.

Lembara berikutnya, bertambah banyak orang-orang sok tau dan sok pahlawan yang mengurusi banyak hal dengan pemikiran sempit mereka. Tapi halaman terakhir membuat mata tertuju pada beritanya. 

Line 'Reuni' AADC. Iklan yang sering bertebaran hingga membuat orang-orang seakan mengenang saat-saat mereka mengantri demi menonton film yang saat itu, adalah saat dimana perfilm-an Indonesia sedang bangkit kembali, dari mati suri.

Ada banyak berita tentang mengapa begini dan begitu yang dibuat singkat oleh banyak orang. Tersebar di dunia maya. Kemudian menjadi bahan perbincangan selama berhari-hari.

Sebenarnya bukan berita yang begitu hebat, tapi ini hanya sekedar berita kilas balik. Yang juga mengingatkan pada rentetan peristiwa yang pernah terlewati, AADC pertama sudah mengalami 3/4 kali ganti presiden. Berarti sudah banyak waktu yang terlewati.

Ini masalah waktu, seperti secangkir teh manis hangat yang sudah mulai menguap panasnya, kemudian menjadi sedikit dingin, dan tersisa tinggal 2/3 saja di dalam gelas. Bapak berkumis mematikan televisi, beranjak dari kursi dan melangkah pergi.

Mencari nafkah demi anak dan istri.

Friday, November 7, 2014

Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Satu Mimpi, Satu Tampungan

2003

Aku percaya, setiap mimpi punya langkahnya sendiri di bawah pijakanku. Tak hanya perlu digantung di atas sana. Setinggi apa pun mimpi, ia harus membuatku selalu membumi. Dan di bawah kaki ini, mimpi itu terasa lebih dekat. Di atas sana, mimpi itu terasa lebih nyata.

Sepuluh tahun yang lalu, kita bertiga punya mimpi yang sama di tanah ini. Di tanah yang tetap sama, baik mata maupun rasa. "Kamu menggantung mimpi di atas sana," kataku sambil menatap langit, "dan aku menanamnya di sini," lanjutku sambil mengusap tanah.

"Mimpiku di mana?" Tanya Nela dengan tatapan polosnya.

"Di sini, di depan matamu. Supaya setiap arah yang kamu lihat, semakin dekat dengan mimpi kita." Jawabku sambil menggenggam tangan kedua sahabatku. Nela dan Dewi. Kita bertiga tersenyum, seakan telah mengenal dengan baik tentang kehidupan. Kehidupan yang selalu berubah menjadi kejutan. Kehidupan yang punya arah tersebar, tak selalu lurus. Dan kita masih terlalu kecil untuk mengenal sebuah mimpi besar.

Tapi mimpi kita tak pernah terlalu kecil untuk sepuluh tahun yang mengalir.


***


2013

Aku mulai menggali tanah kecil yang ada di bawah pohon ini sendirian. Menemukan sebuah botol usang dengan beberapa carik kertas di dalamnya. Seharusnya, dua jam yang lalu kita bertiga sudah bertemu di sini. Tapi hanya ada aku, dan kenangan masa lalu.

"Kalau nggak ada kabar lagi dari kita bertiga, ingat saja 10 Oktober jam dua siang di sini, sepuluh tahun lagi. Janji?" Kedua temanku hanya punya senyum untuk menjawab pertanyaanku. Kelingking kita bertiga saling bertautan.

Dan beberapa menit kemudian, aku menyeka air mata yang ternyata ikut menemaniku di sini. Mengenang Dewi dan Nela yang tak juga datang kabarnya. Aku membuka botol itu sendirian.

Di mulai dari kertas Nela.
Kalau sepuluh tahun lagi aku tak ada di sini, percayalah. Aku sedang mengumpulkan uang untuk membangun mimpi kita bertiga. Tunggu aku dua tahun lagi di sini, dan mari bicarakan hal yang tertunda. Maafkan aku...

Lalu kertasku. Sejujurnya aku tak tahu harus menulis apa. Kita sama-sama sudah tahu mimpi kita, tapi aku belum tahu apa yang bisa kuberikan untuk kita bertiga suatu saat nanti.
Jika sepuluh tahun lagi, tanah ini sudah bukan menjadi tempat kita, aku pastikan bahwa kita masih punya tempat lain untuk membangun mimpi kita. Gundulkan kepalaku jika sepuluh tahun lagi kita tak punya tempat pengganti! Haha!

Sejenak aku bersyukur. Pertama, tanah ini masih tetap menjadi tanah kosong tempat kita bertiga bermimpi. Kedua, berarti aku tak khawatir dengan sumpah gundulku, karena belum menemukan tempat baru.

Lalu terakhir kertas Dewi. Tulisannya cukup panjang.
Aku pastikan sepuluh tahun lagi aku akan tiba. Tapi jika tidak, aku titipkan beberapa resep untuk kau pelajari. Karena mungkin aku tak lagi bisa membantumu di dunia ini.

Dan beberapa resep makanan telah ia tuliskan dengan jelas. Pertanda bahwa ia sendiri tak yakin, sepuluh tahun sejak ia menulis, ia masih bisa datang ke sini hidup-hidup.


***


Jantungku berdebar kencang. Tak kuat mendengar Bu Maya menangis sambil mendekap foto Dewi, anak tunggalnya, sepuluh tahun yang lalu. "Kanker tulang menyerangnya sepuluh tahun yang lalu. Entah setelah atau sebelum kalian punya sumpah di botol ini. Yang jelas, setelah itu Dewi tak pernah berhenti mengingatkanku untuk datang menemui kalian di sini tanggal 10 Oktober jam dua siang." Paparnya terbata-bata.

Dan aku tahu, aku harus bisa belajar memasak sekarang. Karena mimpi kita harus tetap hidup, meskipun salah satu dari kita telah mati.

Dan salah satunya lagi masih entah di mana...





Lights go down
In the moment we're lost and found
I just want to be by your side
If these wings could fly

Damn these walls
In the moment we're ten feet tall
And how you told me after it all
We'd remember tonight
For the rest of our lives
(Birdy - Wings)

Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Botol Itu Tidak Ada

Tidak Ada!
Botol itu telah hilang, dan waktu yang tersisa hanya empat menit lagi.
Semua menghilang, bahkan botol yang didalamnya terdapat hiasan kapal laut kecil itu pun perlahan wujudnya lenyap dari dalam pikiran saya.

Tidak ada yang tersisa. Botol itu telah hilang.
Dan waktu telah selesai.

Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Lembar Kenangan di Tepi Kerinduan

Oleh:


14 Maret 2002

Ingat satu hal, di sini kita bermula dan di sini kita mengikat sebuah janji. Peganglah janji tersebut. Jangan pernah melepaskan, apalagi membuang. Inilah satu bukti dari sebuah proses yang kita jalani. 

Mungkin kita masih terlalu muda untuk menyatakan bahwa hari ini adalah hari di mana kita menyongsong masa depan bersama. Mungkin pula kita masih diliputi euforia akan sebuah kesempatan untuk melaju dalam kebahagiaan. Tetapi, ingatlah lagi, sayang... Kita telah memulainya, tepat di hari ini, di tanggal ini. 

Melaju-lah, percayakan pada kemampuan kita untuk menjalaninya. Melangkah-lah, dan kita hadapi bersama apapun yang akan kita lewati nantinya.

Percaya satu hal, aku mencintaimu.


20 April 2003

Aku menyadarinya, sayang, kau sedang marah kepadaku. Terus terang saja, aku bingung dengan segala sikap yang kau tunjukkan. Ini bukan sekadar marah, ini bukan perkara kesal. Aku memarahimu bukan karena aku tidak lagi mencintaimu.

Jika ada sebuah benda yang dapat aku berikan untuk membuatmu bahagia, katakanlah. Jika ada keinginan yang harus aku patuhi untuk membuatmu lebih memahami maksudnya, katakanlah. Jangan diam, karena aku tidak akan pernah mengerti keinginanmu. Jangan pula pergi dari rumah, karena aku tidak ingin berjauhan darimu.

Aku menegurmu, mempermasalahkan kebiasaanmu, bukan berarti aku tidak lagi menyayangimu. Aku memukul meja ketika kesal kepadamu, bukan berarti aku tidak lagi menginginkanmu. Ingat janji bersama kita, sayang.

***

Aimee membuka lagi lembaran di dalam botol yang menjadi botol kenangan bagi dia dan kekasinya. Semuanya lembaran lama, yang bahkan ada yang sudah berusia 12 tahun. Sekitar 1/3 dari usianya saat ini.

Ada rasa hangat yang menyeruak di dalam hatinya, ada rasa rindu yang melingkupi hatinya. Ada pula keraguan untuk memilih; mempertahankan atau melepaskan. Jika ia memilih mempertahankan, maka ia melepas kesempatan baru. Artinya pula, orang-orang terdekatnya mungkin akan merasakan kekecewaan. Rasa kecewa yang menyelimutinya semenjak ia memilih menyimpan kenangannya bersama Nandhito, laki-laki yang dengan berat hati harus dilepas selamanya sekitar 11 tahun yang lalu. Namun, apa mungkin ia siap melepas Nandhito kembali, untuk kedua kalinya, selamanya?

Dengan hati-hati, Aimee mengusap lembaran kedua. Ingatannya melayang ke kejadian lebih dari 11 tahun yang lalu, ketika ia memilih menghindari Nandhito. Jika ia dapat memutar waktu, ingin rasanya Aimee kembali ke masa itu dan memperbaiki keadaannya. Jika ia dapat kembali ke masa itu, akan ditahan semua keegoisan dirinya. Tidak akan pernah ia membiarkan Nandhito pergi dalam keadaan sakit dan di tengah hujan deras. Tidak akan pernah. Jika ia dapat memiliki kesempatan untuk mengubah semuanya, akan diredamnya semua kemarahan. Mungkin, dengan begitu, ia tidak akan pernah kehilangan Nandhito. Tidak akan pernah.

Hari ini, di perayaan 11 tahun kematian Nandhito, Aimee kembali mengurung diri di kamar. Kerinduannya begitu sulit untuk dibendung meski seberapa banyak air mata telah ia keluarkan untuk menghalau kerinduan tersebut. Tidak ada satu orang pun yang menyalahi Aimee atas kejadian yang menimpa Nandhito, meski semua tahu bahwa Nandhito pergi karena ingin menuruti keinginan Aimee; demi membuat Aimee kembali senang dan tidak lagi marah kepadanya. Justru itu, justru hal itulah yang membuat Aimee dirongrong rasa bersalah seumur hidup. 

Hari ini, di perayaan 11 tahun kematian Nandhito, Aimee kembali harus mengambil keputusan; mempertahankan kenangannya akan Nandhito, atau melepaskan kenangannya bersama Nandhito dan melangkah menuju kehidupan baru bersama laki-laki baru. Keputusan yang harus segera ia ambil, mengingat laki-laki tersebut dan keluarganya sedang berada di dalam perjalanan ke rumahnya, untuk melamarnya.



Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Botol-botol Kaca Gadis Kecil

7 botol kaca berjejer rapi di rak buku Gadis Kecil:
1 botol tempat ia menyimpan kenangan tentang bundanya,
1 botol tempat ia menyimpan kenangan tentang ayahnya,
1 botol berisikan mimpi-mimpinya,
1 botol menyimpan kesalahan-kesalahannya,
1 botol memuat kisah petualangannya,
1 botol berisi pernak-pernik remeh-temeh, tanda mata dari kesehariannya,
Dan 1 botol ia biarkan kosong, untuk Perempuan Itu.


Kadang Gadis Kecil mengamati botol-botol tersebut; jika ia merasa rindu, kangen, ingin mengambil energi positif dan belajar dari kesalahannya... Saat-saat itu ia merasa seperti Dumbledore yang mengamati kenangannya dari baskom batu pensieve atau Raksasa baik hati BGF yang sedang meracik mimpi untuk anak-anak. 

Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Tempat Makhluk Bernama Sedih

Seandainya kesedihan yang ia rasakan dapat dimasukkan ke dalam botol, Perempuan Itu akan mengeluarkan berliter-liter perasaan itu dari tubuhnya; melalui mulut, hidung, mata, dubur, saluran kencing, dan dari seluruh pori-pori kulitnya. Ia akan menampung semuanya dalam botol, berusaha tak ada setitik pun yang tercecer mengotori lantai, dan kemudian menutupnya rapat-rapat. Setelah itu ia akan membasuh seluruh tubuhnya... dan melupakan semuanya...

Seandainya semudah itu. Maka hidup Perempuan Itu akan jauh lebih enteng.

Tapi nyatanya hidup tidak pernah semudah itu. Meski berapakali pun muntah, kencing, berak, hingga mandi junub dan mandi kembang tujuh rupa, kesedihan itu tetap ada.

Ada kesedihan yang tak bisa, mungkin tak mau, beranjak dari dirinya. Ia serupa benalu yang mengisap sari-sari kehidupan dari inangnya, yang kebetulan adalah dia.

Pernah Perempuan Itu meyakini, kesedihan itu sesosok makhluk yang menggentayanginya. Dengan suatu cara, ia dapat menyingkirkan makhluk itu dari hidupnya, memasukkannya dalam botol mungkin... lalu membuanya ke laut. Membiarkan ombak membawa jauh botol itu, lebih baik lagi jika ia tenggelam ke dasar samudra terdalam dan tak ada cara untuknya kembali ke permukaan. Dia ngeri membayangkan akan ada seseorang yang menemukan botol tersebut dan membukanya. Seperti kisah seribu satu malam, hanya saja yang keluar dari botol itu bukan jin yang akan mengabulkan tiga permintaanmu, tetapi makhluk yang akan menggentayangimu, menempel di pundakmu, dan memberimu banyak kesedihan.

Mungkin hal itu yang terjadi padanya?
Sewaktu kecil, saat-saat ia tertarik pada petualangan, rahasia, dan obsesi menemukan harta karun, mungkinkah dia menemukan botol yang berisikan makhluk itu dan membukanya? Sehingga hidupnya menjadi seperti saat ini? Bukankah dia dulunya anak yang bahagia?

Seandainya jantung yang berdetak di dadanya ini – tempat yang ia duga bersemayamnya sang makhluk – bisa ia cabut kemudian dicuci bersih... jika tak dapat di cuci juga tak mengapa, ia hanya perlu menyimpan jantungnya itu, di savety box bank misalnya atau di lemari besi yang akan dia tanam di halaman rumahnya, dan membiarkan dadanya kosong.

Sayangnya hidup tidak semudah itu...

Dia harus menanggung dan bersahabat dengan kesedihan itu hingga...

KAPAN?!!


#Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Tali bantal guling

Ani menjinjing plastik berwarna putih, berisi belanjaan dari daftar di secarik kertas dengan tulisan miring ala abad 19. Ibu meminta tolong sebelum maghrib tadi untuk belanja ke supermarket yang sebenarnya letaknya tidak jauh dari rumah. Tapi Ani tadi lupa, setelah lama mengobrol bersama teman satu kelasnya di SDN 01 PAGI. Mereka sama-sama kelas 5 SD, berbincang lama dan serius membahas masalah arisan.

Jadi, justru ketika azan berkumandang, barulah Ani sadar, dia harus segera pulang. Mungkin kalau sang muazin tengah berbai hati pada Ani, rasanya azan tak mungkin berkumandang, demi membiarkan Ani bisa mengobrol dengan temannya.

Sadar karena pulang telat dan azan masih terdengar, Ani memutuskan untuk memotong jalan lewat kampung kuburan. Benar, kuburan yang luasnya seperti satu kampung ini sering dijadikan sebagai jalanan untuk memotong jalan bagi orang yang terburu-buru, sama seperti Ani.
Sebenarnya ada tulisan pengumuman yang melarang melewati kampung kuburan ketika azan berkumandang. Maksudnya memang baik, kuncen kampung kuburan ingin orang segera ke masjid untuk solat saat azan. Tapi tidak ada yang menyangka kalau ada banyak kisah yang terjadi tanpa bisa diceritakan.

Ani bergegas melangkah dengan kaki jenjangnya, kata ibunya dia bisa tinggi karena sering main lompat karet. Suasana hening dan malam segera turun. Jalan di kampung kuburan hanya diterangi oleh cahaya lampu bohlam berwarna kuning, cukup untuk menuntun ke arah jalan keluar. Walau tidak menjamin akan terlindung dari bebatuan serta pecahan kaca atau paku sekalipun.

Sampai di tengah perjalanan, Ani merasa ada bunyi gemerisik, kepalanya menoleh ke belakang. Tidak ada tanda-tanda sesuatu yang akan membuatnya takut. Ani memang bukan penakut, dia sangat berani, bahkan katanya dia pernah menangkap tuyul.

Tiba-tiba saat melangkah baru saja dua langkah setelah berhenti sejenak tadi, kakinya tak dapat bergerak. Ada yang memegang kakinya, saat melihat ke bawah, dua tangan dewasa mencekal mata kakinya. Saat melihat ke bawah kemudian ke balik tubuhnya, ada sosok yang tubuhnya setengah berada di atas tanah dan setengahnya lagi masih menyembul dari tanah kuburan. Ani tidak berteriak, karena dia kebingungan, entah ingin takut atau ingin pipis.

Ani terjatuh, kakinya masih dipegang dengan kencang, mata orang itu tertutup kapas, hidungnya juga ada kapas, tali pada kain kafannya masih terikat hingga bentuknya menyerupai bantal guling. Berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan itu, sampai tanah berwarna merah menyebar ke segala arah, ada suara erangan dari bibir sosok bantal guling itu.

Dengan ide cemerlangnya, Ani mengambil BOTOL dari dalam kantung plastik belanjaannya, kemudian berkali-kali memukul tangan sosok penghuni baru kuburan. Terus menerus, lagi dan lagi, sampai akhirnya tenaga Ani hampir habis, tapi kakinya masih dipegang. Ani tidak kuat lagi, dia lupa untuk berteriak minta tolong, padahal tadi ada sepeda motor yang lewat di jalanan umum.

Tanpa berpikir panjang lagi, Ani mendekati sosok itu, walaupun jantungnya berdegup kencang, entah karena takut atau karena bau sangit dari sosok ini. Kemudian Ani menarik tali yang mengikat di atas kepala makhluk itu. Dan kemudian, secepat embusan angin, makhluk itu tiba-tiba sudah masuk kembali ke dalam tanah yang masih merah. Ada lubang menganga di situ, talinya masih berada di genggaman Ani.

Ani mengintip dan mata makhluk itu terbelalak menatap langit malam yang penuh bintang. 
Sampai di rumah, ibunya sudah menunggu di depan pintu. Mengomelinya karena pulang terlambat. Saat menanyakan kenapa Ani pulang lama sekali, begini jawabannya :

"Bu, tadi di kampung kuburan ada yang bentuknya seperti guling, kemudian punya tangan dan menjeratku. Setelah aku ambil ikatannya, dia langsung masuk ke dalam tanah. Itu apa ya bu?"

Tanpa bisa menjawab pertanyaan Ani, sang Ibu langsung jatuh tak sadarkan diri.

*****
Tulisan ini diikutsertakan dalam #Jumatulis dengan tema : BOTOL.