Ingat satu hal, di sini kita bermula dan di sini kita mengikat sebuah janji. Peganglah janji tersebut. Jangan pernah melepaskan, apalagi membuang. Inilah satu bukti dari sebuah proses yang kita jalani.
Mungkin kita masih terlalu muda untuk menyatakan bahwa hari ini adalah hari di mana kita menyongsong masa depan bersama. Mungkin pula kita masih diliputi euforia akan sebuah kesempatan untuk melaju dalam kebahagiaan. Tetapi, ingatlah lagi, sayang... Kita telah memulainya, tepat di hari ini, di tanggal ini.
Melaju-lah, percayakan pada kemampuan kita untuk menjalaninya. Melangkah-lah, dan kita hadapi bersama apapun yang akan kita lewati nantinya.
Percaya satu hal, aku mencintaimu.
20 April 2003
Aku menyadarinya, sayang, kau sedang marah kepadaku. Terus terang saja, aku bingung dengan segala sikap yang kau tunjukkan. Ini bukan sekadar marah, ini bukan perkara kesal. Aku memarahimu bukan karena aku tidak lagi mencintaimu.
Jika ada sebuah benda yang dapat aku berikan untuk membuatmu bahagia, katakanlah. Jika ada keinginan yang harus aku patuhi untuk membuatmu lebih memahami maksudnya, katakanlah. Jangan diam, karena aku tidak akan pernah mengerti keinginanmu. Jangan pula pergi dari rumah, karena aku tidak ingin berjauhan darimu.
Aku menegurmu, mempermasalahkan kebiasaanmu, bukan berarti aku tidak lagi menyayangimu. Aku memukul meja ketika kesal kepadamu, bukan berarti aku tidak lagi menginginkanmu. Ingat janji bersama kita, sayang.
***
Aimee membuka lagi lembaran di dalam botol yang menjadi botol kenangan bagi dia dan kekasinya. Semuanya lembaran lama, yang bahkan ada yang sudah berusia 12 tahun. Sekitar 1/3 dari usianya saat ini.
Ada rasa hangat yang menyeruak di dalam hatinya, ada rasa rindu yang melingkupi hatinya. Ada pula keraguan untuk memilih; mempertahankan atau melepaskan. Jika ia memilih mempertahankan, maka ia melepas kesempatan baru. Artinya pula, orang-orang terdekatnya mungkin akan merasakan kekecewaan. Rasa kecewa yang menyelimutinya semenjak ia memilih menyimpan kenangannya bersama Nandhito, laki-laki yang dengan berat hati harus dilepas selamanya sekitar 11 tahun yang lalu. Namun, apa mungkin ia siap melepas Nandhito kembali, untuk kedua kalinya, selamanya?
Dengan hati-hati, Aimee mengusap lembaran kedua. Ingatannya melayang ke kejadian lebih dari 11 tahun yang lalu, ketika ia memilih menghindari Nandhito. Jika ia dapat memutar waktu, ingin rasanya Aimee kembali ke masa itu dan memperbaiki keadaannya. Jika ia dapat kembali ke masa itu, akan ditahan semua keegoisan dirinya. Tidak akan pernah ia membiarkan Nandhito pergi dalam keadaan sakit dan di tengah hujan deras. Tidak akan pernah. Jika ia dapat memiliki kesempatan untuk mengubah semuanya, akan diredamnya semua kemarahan. Mungkin, dengan begitu, ia tidak akan pernah kehilangan Nandhito. Tidak akan pernah.
Hari ini, di perayaan 11 tahun kematian Nandhito, Aimee kembali mengurung diri di kamar. Kerinduannya begitu sulit untuk dibendung meski seberapa banyak air mata telah ia keluarkan untuk menghalau kerinduan tersebut. Tidak ada satu orang pun yang menyalahi Aimee atas kejadian yang menimpa Nandhito, meski semua tahu bahwa Nandhito pergi karena ingin menuruti keinginan Aimee; demi membuat Aimee kembali senang dan tidak lagi marah kepadanya. Justru itu, justru hal itulah yang membuat Aimee dirongrong rasa bersalah seumur hidup.
Hari ini, di perayaan 11 tahun kematian Nandhito, Aimee kembali harus mengambil keputusan; mempertahankan kenangannya akan Nandhito, atau melepaskan kenangannya bersama Nandhito dan melangkah menuju kehidupan baru bersama laki-laki baru. Keputusan yang harus segera ia ambil, mengingat laki-laki tersebut dan keluarganya sedang berada di dalam perjalanan ke rumahnya, untuk melamarnya.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)