Friday, November 7, 2014

Jumatulis Season 2 - 07 Botol - Satu Mimpi, Satu Tampungan

2003

Aku percaya, setiap mimpi punya langkahnya sendiri di bawah pijakanku. Tak hanya perlu digantung di atas sana. Setinggi apa pun mimpi, ia harus membuatku selalu membumi. Dan di bawah kaki ini, mimpi itu terasa lebih dekat. Di atas sana, mimpi itu terasa lebih nyata.

Sepuluh tahun yang lalu, kita bertiga punya mimpi yang sama di tanah ini. Di tanah yang tetap sama, baik mata maupun rasa. "Kamu menggantung mimpi di atas sana," kataku sambil menatap langit, "dan aku menanamnya di sini," lanjutku sambil mengusap tanah.

"Mimpiku di mana?" Tanya Nela dengan tatapan polosnya.

"Di sini, di depan matamu. Supaya setiap arah yang kamu lihat, semakin dekat dengan mimpi kita." Jawabku sambil menggenggam tangan kedua sahabatku. Nela dan Dewi. Kita bertiga tersenyum, seakan telah mengenal dengan baik tentang kehidupan. Kehidupan yang selalu berubah menjadi kejutan. Kehidupan yang punya arah tersebar, tak selalu lurus. Dan kita masih terlalu kecil untuk mengenal sebuah mimpi besar.

Tapi mimpi kita tak pernah terlalu kecil untuk sepuluh tahun yang mengalir.


***


2013

Aku mulai menggali tanah kecil yang ada di bawah pohon ini sendirian. Menemukan sebuah botol usang dengan beberapa carik kertas di dalamnya. Seharusnya, dua jam yang lalu kita bertiga sudah bertemu di sini. Tapi hanya ada aku, dan kenangan masa lalu.

"Kalau nggak ada kabar lagi dari kita bertiga, ingat saja 10 Oktober jam dua siang di sini, sepuluh tahun lagi. Janji?" Kedua temanku hanya punya senyum untuk menjawab pertanyaanku. Kelingking kita bertiga saling bertautan.

Dan beberapa menit kemudian, aku menyeka air mata yang ternyata ikut menemaniku di sini. Mengenang Dewi dan Nela yang tak juga datang kabarnya. Aku membuka botol itu sendirian.

Di mulai dari kertas Nela.
Kalau sepuluh tahun lagi aku tak ada di sini, percayalah. Aku sedang mengumpulkan uang untuk membangun mimpi kita bertiga. Tunggu aku dua tahun lagi di sini, dan mari bicarakan hal yang tertunda. Maafkan aku...

Lalu kertasku. Sejujurnya aku tak tahu harus menulis apa. Kita sama-sama sudah tahu mimpi kita, tapi aku belum tahu apa yang bisa kuberikan untuk kita bertiga suatu saat nanti.
Jika sepuluh tahun lagi, tanah ini sudah bukan menjadi tempat kita, aku pastikan bahwa kita masih punya tempat lain untuk membangun mimpi kita. Gundulkan kepalaku jika sepuluh tahun lagi kita tak punya tempat pengganti! Haha!

Sejenak aku bersyukur. Pertama, tanah ini masih tetap menjadi tanah kosong tempat kita bertiga bermimpi. Kedua, berarti aku tak khawatir dengan sumpah gundulku, karena belum menemukan tempat baru.

Lalu terakhir kertas Dewi. Tulisannya cukup panjang.
Aku pastikan sepuluh tahun lagi aku akan tiba. Tapi jika tidak, aku titipkan beberapa resep untuk kau pelajari. Karena mungkin aku tak lagi bisa membantumu di dunia ini.

Dan beberapa resep makanan telah ia tuliskan dengan jelas. Pertanda bahwa ia sendiri tak yakin, sepuluh tahun sejak ia menulis, ia masih bisa datang ke sini hidup-hidup.


***


Jantungku berdebar kencang. Tak kuat mendengar Bu Maya menangis sambil mendekap foto Dewi, anak tunggalnya, sepuluh tahun yang lalu. "Kanker tulang menyerangnya sepuluh tahun yang lalu. Entah setelah atau sebelum kalian punya sumpah di botol ini. Yang jelas, setelah itu Dewi tak pernah berhenti mengingatkanku untuk datang menemui kalian di sini tanggal 10 Oktober jam dua siang." Paparnya terbata-bata.

Dan aku tahu, aku harus bisa belajar memasak sekarang. Karena mimpi kita harus tetap hidup, meskipun salah satu dari kita telah mati.

Dan salah satunya lagi masih entah di mana...





Lights go down
In the moment we're lost and found
I just want to be by your side
If these wings could fly

Damn these walls
In the moment we're ten feet tall
And how you told me after it all
We'd remember tonight
For the rest of our lives
(Birdy - Wings)

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)