Friday, October 17, 2014

Jumatulis Season 2 - 04 Bel - Perihal Kehilangan

Oleh:
 
 
Sumber Gambar: Dreamstime
 
Kau pernah mengalami kehilangan? Iya, kehilangan. Apapun wujud kehilangan itu. Saat akan mengalami momen kehilangan, terkadang kita diperdengarkan "bel" yang berbunyi di telinga kita. Firasat, begitu kata sebagian besar orang.

Aku membenci firasat buruk. Mereka mengatakan bahwa aku cukup "peka" ketika akan berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Perihal kehilangan, misalnya. Untuk alasan kepekaan inilah, maka aku membenci firasat, pertanda, bel, atau apapun itu.

Cukup. Sudah cukup aku mengalami beberapa kejadian yang membuatku merasakan begitu banyak penyesalan karena tidak mengindahkan hal-hal yang mereka sebut dengan firasat tadi. Sudah cukup aku mengalami kesedihan karena memilih untuk tidak melakukan apapun yang seharusnya aku lakukan sebelum kejadian kehilangan tersebut benar-benar aku alami. Cukup, kumohon hentikan.

Dan kali ini, aku harus mengalami momen kehilangan sekaligus penyesalan terberat dari semua kehilangan yang pernah aku alami; kehilangan seorang paman yang keberadaannya sudah seperti Ayahku sendiri, terutama semenjak 11 tahun terakhir -- ketika aku tinggal jauh dari rumah dan ke rumah pamanku di Jakarta adalah solusi saat aku rindu berada di dekat keluarga.

Percayalah, ini rasanya sungguh menyakitkan.

Aku, bahkan tidak pernah menyangka bahwa rasa sakitnya akan begitu hebat seperti ini.

Jika aku boleh memilih, aku ingin ketika pamanku menggerakkan kakinya saat aku berkesempatan mengusap kakinya ketika beliau masih koma di Rumah Sakit, itu adalah pertanda baik bahwa pamanku akan sadar dan pulih. Itu, kalau aku, boleh memilih.

Nyatanya...

Kurang dari dua jam sejak kedatanganku ke Rumah Sakit, pamanku dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. 

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.... 

Keluargaku mengatakan bahwa pamanku "sengaja" menunggu aku datang, baru kemudian beliau pergi. Mungkin ingin menitipkan adik-adikku -- sepupu-sepupu bungsuk -- kedua anak beliau. Mendengar pernyataan ini membuatku merasa malu, siapa aku hingga mendapat "kesempatan istimewa" seperti itu? Sebagai keponakan, tidak banyak yang pernah aku lakukan untuk beliau. Sebagai pribadi, aku sendiri merasa tidak sanggup mengurus diri sendiri. Tetapi, jika benar begitu alasannya, sudah saatnya aku semakin berbenah diri.

Jika aku berpikir lebih jernih lagi, kematian ini adalah obat paling mujarab bagi segala penyakit yang diderita oleh pamanku sejak setahun yang lalu. Iya, tepat setahun yang lalu, di momen Idul Adha yang sama, pamanku mulai terkena stroke. Dari pada harus menyaksikan pamanku kesakitan sampai entah kapan, aku lebih memilih pamanku disembuhkan dan diberikan kedamaian seperti sekarang. Kedamaian yang benar-benar damai. Tidak ada lagi kesakitan duniawi yang harus diderita oleh paman.

Banyak cerita penyerta lainnya, yang membuatku semakin lebih memilih untuk mengikhlaskan kepergian paman kesayanganku ini. 

Alhamdulillah...

Paman kesayangan pergi meninggalkan kami semua dalam kondisi yang begitu tenang, dengan wajah yang begitu bersih dan tampan.

Ingatan terakhir yang tergambar dengan jelas di kepalaku tentang beliau, bukanlah tentang bagaimana kondisi paman kesayangan ketika berada di rumah sakit, melainkan senyuman-senyuman yang diberikan kepadaku ketika beliau duduk di kursi roda -- pada saat kami bertemu dan berbincang santai terakhir kalinya, beberapa minggu yang lalu. 

Sepertinya, perihal kehilangan kali ini, akan membuatku tidak lagi main-main dengan suara-suara bel yang berdengung di hati dan pikiranku, yang mengajakku untuk bergegas memilih langkah agar tidak lagi menyesal kemudian... Terutama, jika bel tersebut menjadi pertanda akan sebuah kehilangan.

Sungguh, aku membenci kehilangan. Apalagi jika itu adalah kehilangan yang selamanya. Rasanya ternyata cukup melelahkan untuk melalui proses berduka. Namun, entah ini sayangnya atau untungnya, kehilangan juga merupakan sebuah keniscayaan, sebuah proses hidup. Suka ataupun tidak, memang harus dijalani. 

Then Almitra spoke, saying, We would ask now of Death*
And he said:
You would know the secret of death.
But how shall you find it unless you seek it in the heart of life?
The owl whose night-bound eyes are blind unto the day cannot unveil the mystery of light.
If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life.
For life and death are one, even as the river and the sea are one.

In the depth of your hopes and desires lies your silent knowledge of the beyond;
And like seeds dreaming beneath the snow your heart dreams of spring.
Trust the dreams, for in them is hidden the gate to eternity.
Your fear of death is but the trembling of the shepherd when he stands before the king whose hand is to be laid upon him in honour.
Is the shepherd not joyful beneath his trembling, that shall wear the mark of the king?
Yet is he not more mindful of his trembling?

For what is it to die but stand naked in the wind and to melt into the sun?
And what is it to cease breathing but to free the breath from its restless tides, that it may rise and expand and seek God unencumbered?

Only when you drink from the river of silence shall you indeed sing.
And when you have reached the mountain top, when you shall begin to climb.
And when the earth shall claim your limbs, then shall you truly dance. 


*
Taken from The Prophet by Gibran Khalil Gibran.


Special Note
Renungan 7 hari setelah Awan Kaprawi Rusli Kartadilaga (1958-2014) meninggal dunia pada hari Sabtu, tanggal 11 Oktober 2014, pukul 00.50 WIB.

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)