Oleh:
Sumber Gambar: Dreamstime |
Kau
pernah mengalami kehilangan? Iya, kehilangan. Apapun wujud kehilangan
itu. Saat akan mengalami momen kehilangan, terkadang kita diperdengarkan
"bel" yang berbunyi di telinga kita. Firasat, begitu kata sebagian
besar orang.
Aku
membenci firasat buruk. Mereka mengatakan bahwa aku cukup "peka" ketika
akan berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Perihal
kehilangan, misalnya. Untuk alasan kepekaan inilah, maka aku membenci
firasat, pertanda, bel, atau apapun itu.
Cukup.
Sudah cukup aku mengalami beberapa kejadian yang membuatku merasakan
begitu banyak penyesalan karena tidak mengindahkan hal-hal yang mereka
sebut dengan firasat tadi. Sudah cukup aku mengalami kesedihan karena
memilih untuk tidak melakukan apapun yang seharusnya aku lakukan sebelum
kejadian kehilangan tersebut benar-benar aku alami. Cukup, kumohon
hentikan.
Dan
kali ini, aku harus mengalami momen kehilangan sekaligus penyesalan
terberat dari semua kehilangan yang pernah aku alami; kehilangan seorang
paman yang keberadaannya sudah seperti Ayahku sendiri, terutama
semenjak 11 tahun terakhir -- ketika aku tinggal jauh dari rumah dan ke
rumah pamanku di Jakarta adalah solusi saat aku rindu berada di dekat
keluarga.
Percayalah, ini rasanya sungguh menyakitkan.
Aku, bahkan tidak pernah menyangka bahwa rasa sakitnya akan begitu hebat seperti ini.
Jika
aku boleh memilih, aku ingin ketika pamanku menggerakkan kakinya saat
aku berkesempatan mengusap kakinya ketika beliau masih koma di Rumah
Sakit, itu adalah pertanda baik bahwa pamanku akan sadar dan pulih. Itu,
kalau aku, boleh memilih.
Nyatanya...
Kurang dari dua jam sejak kedatanganku ke Rumah Sakit, pamanku dipanggil oleh Sang Maha Kuasa.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....
Keluargaku
mengatakan bahwa pamanku "sengaja" menunggu aku datang, baru kemudian
beliau pergi. Mungkin ingin menitipkan adik-adikku -- sepupu-sepupu bungsuk --
kedua anak beliau. Mendengar pernyataan ini membuatku merasa malu,
siapa aku hingga mendapat "kesempatan istimewa" seperti itu? Sebagai
keponakan, tidak banyak yang pernah aku lakukan untuk beliau. Sebagai
pribadi, aku sendiri merasa tidak sanggup mengurus diri sendiri. Tetapi,
jika benar begitu alasannya, sudah saatnya aku semakin berbenah diri.
Jika
aku berpikir lebih jernih lagi, kematian ini adalah obat paling mujarab
bagi segala penyakit yang diderita oleh pamanku sejak setahun yang
lalu. Iya, tepat setahun yang lalu, di momen Idul Adha yang sama,
pamanku mulai terkena stroke. Dari pada harus menyaksikan pamanku
kesakitan sampai entah kapan, aku lebih memilih pamanku disembuhkan dan
diberikan kedamaian seperti sekarang. Kedamaian yang benar-benar damai.
Tidak ada lagi kesakitan duniawi yang harus diderita oleh paman.
Banyak cerita penyerta lainnya, yang membuatku semakin lebih memilih untuk mengikhlaskan kepergian paman kesayanganku ini.
Alhamdulillah...
Paman kesayangan pergi meninggalkan kami semua dalam kondisi yang begitu tenang, dengan wajah yang begitu bersih dan tampan.
Ingatan
terakhir yang tergambar dengan jelas di kepalaku tentang beliau,
bukanlah tentang bagaimana kondisi paman kesayangan ketika berada di
rumah sakit, melainkan senyuman-senyuman yang diberikan kepadaku ketika
beliau duduk di kursi roda -- pada saat kami bertemu dan berbincang
santai terakhir kalinya, beberapa minggu yang lalu.
Sepertinya,
perihal kehilangan kali ini, akan membuatku tidak lagi main-main dengan
suara-suara bel yang berdengung di hati dan pikiranku, yang mengajakku
untuk bergegas memilih langkah agar tidak lagi menyesal kemudian...
Terutama, jika bel tersebut menjadi pertanda akan sebuah kehilangan.
Then Almitra spoke, saying, We would ask now of Death*
And he said:
You would know the secret of death.
But how shall you find it unless you seek it in the heart of life?
The owl whose night-bound eyes are blind unto the day cannot unveil the mystery of light.
If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life.
For life and death are one, even as the river and the sea are one.
In the depth of your hopes and desires lies your silent knowledge of the beyond;
And like seeds dreaming beneath the snow your heart dreams of spring.
Trust the dreams, for in them is hidden the gate to eternity.
Your
fear of death is but the trembling of the shepherd when he stands
before the king whose hand is to be laid upon him in honour.
Is the shepherd not joyful beneath his trembling, that shall wear the mark of the king?
Yet is he not more mindful of his trembling?
For what is it to die but stand naked in the wind and to melt into the sun?
And
what is it to cease breathing but to free the breath from its restless
tides, that it may rise and expand and seek God unencumbered?
Only when you drink from the river of silence shall you indeed sing.
And when you have reached the mountain top, when you shall begin to climb.
And when you have reached the mountain top, when you shall begin to climb.
And when the earth shall claim your limbs, then shall you truly dance.
*
Taken from The Prophet by Gibran Khalil Gibran.
Special Note
Renungan 7 hari setelah Awan Kaprawi Rusli Kartadilaga (1958-2014) meninggal dunia pada hari Sabtu, tanggal 11 Oktober 2014, pukul 00.50 WIB.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)