Samin berjalan cepat menuju rumah, perutnya lapar setelah bekerja penuh sebagai penyedia jasa lampu di pasar. Tempat bekerjanya tidak jauh dari rumahnya, pasar pagi. Dengan sandal jepit yang sudah menipis alasnya, hingga kalau terkena permukaan yang licin, bisa membuat terjatuh.
Bau yang mampir di hidungnya yang bangir, membuat perutnya semakin kelaparan. Semalam dia tidak sempat makan, karena Ibunya masih belum mendapat sampah yang bisa ditimbang di tempat pengepul. Tabungan mereka habis terkuras, setelah mendengar kakaknya masuk ke penjara karena ketahuan mencuri perkedel di warung Bu Jannah.
Samin membayangkan sepiring nasi yang masih panas. Walaupun lebih sering memakan nasi yang pera, atau bahkan lebih sering menjadi bubur dan sedikit berbau. Asalkan perutnya terisi, Samin tidak akan mempermasalahkan.
Katanya, sekarang ini pemulung itu bisa mengumpulkan uang hingga jutaan rupiah. Bahkan ada beberapa wartawan yang menceritakan bagaimana seorang pemulung bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Sayangnya, ada banyak yang tidak tahu, kalau Samin juga anak pemulung. Tapi, tidak bisa sekolah tinggi. Sekolah SD saja sudah sukur, karena bisa gratis. Tapi untuk iuran ini dan itu, Samin sering terkena tegur gurunya.
Pemulung yang bisa sukses itu, bukan seperti ibunya. Mereka sudah memiliki wilayah jajahan milik mereka. Sementara Ibunya masih belum memiliki wilayah jajahan miliknya sendiri, sehingga lebih sering diusir sebelum ketahuan oleh pemilik wilayah. Terkadang kehidupan memang menuntut untuk menjadi seorang yang jahat kalau mau bertahan.
Tapi, Ibunya memilih pasrah, mengambil sampah dari kali yang lebih berbahaya. Walaupun sulit untuk menjangkaunya, tapi lumayan. Kali di sekitar tempatnya ini banyak sampah yang memang tidak banyak juga yang bisa di setor ke pengepul.
"Buk, Samin lapar."
"Sini Cung. Ibu baru dapat rejeki!"
"Ada makanan, Bu?"
"Ada, Ibu abis ngambil sampah di dekat sana, ini ada terasi yang masih bagus bentuknya, dicampur sama nasi saja biar nggak kerasa bau sangitnya."
Nasi yang diambil Ibunya dari bungkusan nasi di pojok tempat sampah, serta bungkus terasi yang sudah kadaluarsa. Membuat Samin bersemangat, tak perlu ragu untuk memakan apapun, karena yang penting tidak kelaparan, Samin dan keluarganya bisa hidup.
****
Tulisan ini diikut sertakan dalam #Jumatulis dengan tema Terasi.
Hiks >.< terus ada anak yang sering buang-buang makanan T______T
ReplyDelete