Thursday, October 16, 2014

Jumatulis Season 2- 03 Pesona - Blood Moon

*POSTINGAN HUKUMAN!*

Idul Adha adalah hari raya yang paling Uti sukai. Di hari itu, keluarga Uti akan menerima banyak daging, paling sedikit lima kantung plastik. Dan malamnya, Mamak akan memasak daging itu, dibuat sup ataupun disemur. Enak sekali!!!

Saat-saat itulah Uti sekeluarga bisa menikmati daging yang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada Idul Adha. Sebulan lebih, dengan daging pemberian orang-orang yang berkurban itu, keluarga Uti dapat menyantap daging bak seorang raja. Jika daging pemberian itu sangat banyak, Mamak akan membagi daging tersebut menjadi tiga tumpukan; tumpukan pertama untuk di masak dalam keadaan segar, tumpukan kedua dan ketiga akan mamak rebus – kaldunya di simpan tentu saja – setelah direbus, tumpukan kedua akan Mamak taburi garam kemudian dipukul-pukul hingga gepeng lalu di jemur hingga kering, tumpukan ketiga akan Mamak suir-suir dan disangrai dengan kelapa. Uti dan kedua saudaranya tentu saja memantu Mamak.

Daging asin dan serundeng daging itu akan Mamak simpan dalam wadah dan diletakkan di dalam lemari. Makanan itu akan dihidangkan dihari-hari spesial saja, ulang tahun misalnya atau jika Ambe tidak mendapatkan lurang beberapa hari.

Senangnya lagi, setelah marak di TV kajadian meninggalkanya beberapa orang karena berebutan mengambil daging beberapa tahun yang lalu, kini daging itu langsung diantarkan ke rumah mereka oleh panitia mesjid. Uti tak perlu lagi bersama Mamak, Ambe dan kedua kakaknya berpanas-panasan mengantri daging, tak perlu lagi sesak-sesakan berdempetan. Meskipun memang jika mengantri sendiri, kemungkinan dagingnya dua kali lipat lebih banyak. “Kita to harus sukuri apa yang ada, apa yang dikasi ki ma Tuhan. Ini tong mi rejeki ta.” Kata Mamak saat salah seorang kakak Uti mengeluhkan hal tersebut.

Sore ini, sudah ada enam kantung plastik daging yang diantarkan ke rumah, Uti sekeluarga sudah mulai sibuk di dapur mengolah daging-daging itu...
*****
Perempuan Itu mulai merasa cemas, tersisa tiga hari lagi sebelum gerhana bulan total yang telah lama ia nanti-nantikan, tetapi dia belum juga menemukan anak yang tepat. Anak yang polos dan bahagia. Anak yang dicintai, yang menerima banyak cinta. Dan tentu saja harus anak perempuan, dia tidak suka menjadi laki-laki.

Memasuki usia seratus tiga puluh lima tahun, Perempuan Itu kini tak muda lagi. Dia telah terlihat seperti perempuan dewasa berusia tiga puluh lima tahun, tante-tante, dan dia tidak menyukainya. Dia merasa pesonanya telah memudar. Dia memang benci menjadi tua! Dia ingin kembali berusia enam tahun, sebagaimana yang ia ingat adalah saat-saat terbahagia dalam hidupnya. Tapi bagaimana ini? Dia belum menemukan anak yang tepat .Anak yang kehidupannya ingin ia gantikan.
*****

“Tiii..”
“Iye’ Ambe?” tergopoh-gopoh dari dapur, Uti menghampiri ambe yang baru saja masuk ke dalam rumah.
“Mau ki ikut ambil daging? Sekalian bantu Ambe bawaki sebagian.”
“Banyak kah Ambe? Di mana?”
“Endak ji juga banyak sekali ia... malu mi kah Uti jalan-jalan naik becak na Ambe?”
“Ih! Sembarang na Ambe deh!” Kata Uti sambil memasang muka cemberut.
Tersenyum, Ambe pun mengacak-acak rambut Uti dengan gemas lalu berkata, “Ayo mi pade...minta izin dulu sama Mamak mu”
Mengangguk riang, Uti segera ke dapur meminta izin kepada Mamak. Kedua saudara Uti sebenarnya ingin ikut juga tetapi mengurungkan niat melihat banyaknya pekerjaan Mamak.

“Mauki ambil daging di mana ini kah Ambe?” Tanya Uti lagi di atas becak. Ia palingkan badannya menghadap Ambe yang sedang mengayuh becaknya sambil bersiul-siul.
“Di rumah na langganannya Ambe. Kemarin waktu ku antarki ke pasar na suru ki datang ambil daging.” Jawab Ambe.
“Ohhhh...”
*****
Adalah Daeng Tallasa’, tukang becak langganan Perempuan Itu. Daeng Tallasa’ memang mangkal di depan kompleks rumahnya, menganu nasip bersaing dengan ojek dan bentor yang kini lebih populer. Perempuan Itu sendiri tidak menyukai naik bentor, apalagi naik ojek, maka becaklah alternatif satu-satunya yang ia miliki untuk masuk maupun keluar dari kompleks rumahnya. Untuk mengendarai mobil sendiri dia tidak bisa. Dan berawal dari sanalah ia berkenalan dan memilih berlangganan becak dengan Daeng Tallasa’.

Dia menaruh hormat yang teramat besar kepada Daeng Tallasa’. Pembawaannya yang ceria tetapi sopan serta bisa dipercaya membuat Perempuan Itu merasa nyaman dan menaruh kepercayaannya. Entah... terkadang Daeng Tallasa’ mengingatkannya kepada sosok sang bapak, yang begitu cepat direngut darinya. Dan ya, Perempuan Itu menyayangi si tukang becak yang sepuh itu.

Tanpa disangka-sangka, kedatangan Daeng Tallasa’ bersama putrinya, Uti memberikan harapan terhadapnya yang mulai berputus asa...

“Ini anak ta Daeng?” Kata Perempuan itu sambil menyerahkan tiga bungkusan besar kepada Daeng Tallasa’.
“Iye’ anak ku ini. Yang bungsu.” Jawab  Daeng Tallasa sambil menerima ketiga bungkusan tersebut.
“Sini ki ku bantu Ambe.” Kata Uti mengambil salah satu bungkusan dari tangan Ambenya.
“Siapa nama ta?” Tanya Perempuan itu kepada Uti.”
“Uti.” Jawab Uti cepat. Tersenyum, dengan susah payah ia mengangkat bingkisan di pelukannya dan meletakkannya di atas becak. Ia pun turut naik ke atas becak, duduk manis sambil bersenandung riang.
“Makasih pade nak buat dagingnya. Puas na mi ini orang rumah makan daging. Hahaha...” Kata Daeng Tallasa’ sambil menuju becaknya diikuti oleh Perempuan itu. Setelah meletakkan kedua bungkusan ke atas becak ia menegur Uti, “Tii dak bilang terimakasih ma kakak?!!”.
“Hahaha dak papa ji tawwa Daeng.” Kata Perempuan itu.
Malu-malu Utii menjulurkan kepalanya dan berkata, “Makasih kakak.”
“Sama-sama Uti.” Ucap Perempuan itu sambil mengusap-usap lembut kepala Uti. Dalam hati ia menera Uti, mengguna-gunainya, sehingga tepat pada saat yang ia inginkan Uti akan tertidur pulas dan rohnya akan melayang-layang meninggalkan tubuhnya.
*****


8 Oktober 2014

Langit Makassar dihiasi bulan berwarna merah. Yang terjadi karena bulan ditutupi oleh bayangan bumi dan cahaya matahari yang terbiaskan oleh atmosfer bumi menyebabkan kesan kemerah-merahan. Orang-orang menatap ke angkasa dengan kagum. Beberapa mengabadikan moment itu dengan kameranya lalu memamerkannya di sosial medianya. Dengan bangga memamerkan keindahan bulan yang tertangkap mata telanjang di kotanya. Miris... Mereka tidak tahu, mungkin tidak peduli, bahwa makin indah warna merah bulan itu di kota mereka, menandakan tingginya polusi di kota mereka.

Uti yang begitu semangat siang tadi ingin menyaksikan gerhana bulan tersebut kini tertidur pulas...


0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)