Ting..Tong.
Bel rumah berbunyi, dan seperti rumah lainnya yang memiliki bel dengan bunyi yang sama. Terkadang memang harus berlari dari lantai dua rumah, kemudian menuruni tangga dengan terburu-buru karena mendengar suara bel berbunyi, ternyata itu yang berbunyi adalah suara bel tetangga rumah yang tinggal di sebrang. Atau terkadang suara bel dari sebelah kanan rumah, mungkin bel dari rumah sebelah kiri. Atau juga bisa jadi, itu suara bel dari rumah yang berada di ujung jalan dekat dengan toko kelontong yang dimiliki oleh Nyonya Cin.
Ternyata Raymond, seorang remaja tanggung yang senang mengunyah permen karet dan setiap kali aku membuka pintuku, dia sedang meniup gelembung balonnya dan kemudian meledakkannya tepat saat dia menyerahkan susu sapi yang masih murni dari peternakan milik Kakeknya, kepadaku.
Bel berbunyi lagi, aku kurang beruntung karena ternyata itu suara bel dari rumah milik Tisha yang tinggal di sebrang rumahku. Ternyata itu seorang pengasuh anak. Dia sering menggunakan jasa perempuan paruh baya dengan baju yang selalu itu-itu saja, setiap hari Kamis. Ingat, setiap hari kamis dan entah dia pergi kemana. Anak-anaknya yang berjumlah lima orang dengan jarak hanya satu tahun setiap anak, mereka sangat berisik sekali setiap Tisha mulai meninggalkan rumah, ada yang berteriak, terkadang pengasuh mereka yang berteriak melarang beberapa yang mencoba untuk kabur dari rumah.
Pukul tiga sore, kembali ramai sekali di depan rumahku. Anak Tisha yang paling besar sedang menyiram adik-adiknya dengan selang hingga seluruh rumah mereka basah! Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka. Itu kenapa aku menolak untuk menikah. Karena aku tidak ingin berkomitmen juga tidak ingin memiliki anak. Mereka sangat-sangat menyeramkan!
Aku terbangun dini hari, entah jam berapa karena suara bel yang menggangguku. Membuka pintu kamar dengan malas, menuruni tangga dengan langkah gontai kemudian membuka kunci pintu dengan tidak berselera.
"Miss, boleh saya meminta tolong pada Anda?"
Ternyata pengasuh anak-anak Tisha. Entah apa yang dilakukannya tengah malam seperti ini. Aku hanya mengangguk, walaupun sebenarnya aku ingin segera menutup pintu rumah.
"Seorang polisi tadi menelpon dan sekarang mereka ada di rumah. Bisakah kau menolongku?"
***
Sudah dua bulan aku mulai bisa menikmati suara ramai yang terdengar tanpa jeda dan tanpa ada istirahat kecuali mulut kecil mereka sedang terkatup rapat saat tidur. Lima orang anak, kini tinggal di rumahku.
"I love you, Ma!"
Kecupan dari anak paling kecil, yang aku kuncir menyerupai buntut kuda, membuat hariku lebih menyenangkan. Kami akan pergi ke suatu tempat, yang akan membuat mereka terkenang selalu dengan Tisha.
"Ma, apakah Mommy sedang tidur?"
"Iya, Mommy tidur dengan tenang di sini."
Pemakaman St. Hill memang sejuk, berbeda dengan yang lain. Tapi yang membedakan dengan makam yang lain adalah Tisha memiliki cinta yang tak pernah kenal lelah dan akan selalu menyertainya hingga dia abadi di hati kelima anaknya.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)