"Aku mau sambal terasi."
"Nanti aku bilang si Mbok ya, Mas."
"Kamu aja yang bikin, Nduk."
"Aduh, Mas. Baunya tajam. Aku nggak kuat, ah."
"Cuma disuruh begitu aja sama suami ngeluh terus. Aku lagi kepengin sambal terasi. Itu aja. Memangnya susah?"
Ardi terus mengomel seperti anak kecil yang tak boleh beli permen atau kembang gula karena dianggap sebagai sumber penyakit. Ia bahkan seperti lupa bahwa isterinya sedang berusaha menahan mual yang terus mengganggu keadaannya setiap hari. Bagaimana bisa ia bertemu terasi dan bumbu dapur lainnya yang baunya menyengat? Mencium parfum suaminya sendiri saja kadang bisa menimbulkan perkara.
Semenjak Ratna dinyatakan positif hamil, Ardi jadi mendadak berubah manja. Kadang, ia merasa bahwa suaminya yang mengidam. Sedangkan Ratna tak pernah lepas dari rasa mual dan pusing sepanjang hari. Si Mbok juga perlu ekstra perhatian untuk mengingatkannya makan, karena Ratna seringkali lupa, atau bahkan pura-pura lupa karena tak lagi punya nafsu makan.
"Mbok, aku aja yang masak sekarang, ya. Aku mau masak sambal terasi untuk Mas Ardi."
"Si Mbok aja, Mbak, yang buatkan. Nanti Mbak muntah lagi, gimana?" Si Mbok menjawab sambil memegang tubuh Ratna yang lunglai.
"Mas Ardi maunya saya yang buatkan. Ya, maklum saja, Mbok. Kayaknya dia yang kena ngidam, hehe." Tawa Ratna terdengar getir karena ia lebih merasa mau muntah daripada tertawa. Hanya ada rasa sakit, dan tak ada bahan lawakan yang mampu ia tertawakan lagi. Mau menjadi Ibu saja harus merasakan sakit seperti ini, batinnya.
"Ya, sudah. Kalau butuh bantuan, panggil Si Mbok ya, Neng. Hati-hati di dapur. Si Mbok ada di halaman belakang, kok. Mau nyiram bunga." Jawab Si Mbok sambil perlahan meninggalkan dapur dan membuka pintu belakang yang menunjukkan dataran rumput hijau yang asri dan penuh bunga warna-warni. Taman kecil ciptaan Ardi untuk isterinya yang senang menanam bunga. Ratna memaksakan senyum, berharap Si Mbok mengerti bahwa ia sudah dewasa dan bisa menjaga diri di dapurnya sendiri.
Sementara Ardi terus mengumpat dan mengeluh di kamar, dan tak mau keluar sampai malam hari.
Enam bulan kemudian...
"Anak kita perempuan, Nduk." Tutur Ardi sambil mengusap lembut kepala Ratna.
"Alhamdulillah. Sehat, Mas?"
"Iya. Kamu jangan mikirin apa-apa dulu, ya. Biar pulih dulu badanmu." Terlihat senyum terpaksa di wajah Ardi. Ada yang tertahan di kepalanya. Beban yang entah kapan dan bagaimana bisa ia selesaikan setelah ini. Maafkan aku, Ratna. Aku pernah menyumpahi anak kita. Dan ia lahir dengan banyak bulu.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)