Saya takut masih menyimpan dendam sampai saya mati nanti. Masalahnya, dua hal ini; memaafkan dan mati, nggak bisa saya tahu kapan tibanya. Sudah berkali-kali berusaha bangkit dan melupakan semuanya, tapi malah semakin besar trauma yang saya rasakan. Mengerikan. Saya harus memaafkan diri sendiri sebelum bisa memaafkan orang lain, tapi yang saya temukan sampai hari ini justru saya semakin lemah dimakan trauma masa lalu. Sedih. Saya nggak mau mati dengan perasaan seperti ini.
Saya mencintai seorang lelaki bertahun-tahun, demi keyakinan yang ternyata nggak pernah terlihat lebih dari seonggok batu mati tanpa tahu apa dan bagaimana fungsinya. Sia-sia adalah buahnya. Dan entah sampai kapan penyesalan ini nggak pernah setimpal sama kata maaf yang sudah ribuan kali saya dengar. Pelecehan seksual, kekerasan fisik, mental, verbal, perselingkuhan dua tahun lamanya dengan perempuan yang sama, dan masih banyak kerugian lainnya yang tak bisa saya bayar dengan sebuah maaf yang tulus. Jatuh sekali, ditumpuk berkali-kali, lalu saya tertimbun dendam yang saya pupuk sendiri bertahun-tahun, sampai hari ini. Saya takut...
Trauma, depresi, dendam, ketakutan, semuanya jadi teman saya selama ini. Mereka menjilat, menggigit, mengunyah, menelan satu per satu kepercayaan diri saya hingga saya merasa tak lagi punya jiwa. Entah, merinding rasanya setiap mengingat ini semua.
Anak muda itu harusnya puas bersenang-senang, berteman, jatuh cinta, patah hati, itu pesan orang dewasa yang (mungkin) telah melewati bahagianya jadi remaja. Tapi mereka lupa, ada harga yang perlu dibayar untuk hal-hal lain yang mengejutkan kita. Selagi bisa menjaga diri sendiri, akan lebih baik untuk bersenang-senang dalam jangkauan mata yang masih bisa terlihat. Pandanglah sejauh apa pun matamu menangkap, tapi jangan tertipu.
Apa saya udah butuh psikiater?
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)