Kali ini aku sudah tak lagi berpikir tentang rasa gengsi atau malu. Aku benar-benar kehausan akibat Kemarau sehingga panas terik membuatku selalu kehausan, Keringatku mengucur deras membuat tubuhku kehilangan cairan. Bahkan air keran yang tersedia di tempat wudhu masjid tidak luput dari incaranku. Kalau saja aku bisa mendapatkan pekerjaan, sehingga tak lagi menginap di mushola atau emperan toko.
Aku sering merasa takut pada orang-orang yang berlalu-lalang saat tidur di emperan toko. Wajah mereka seperti tak berbentuk, hanya menyiratkan nafsu yang tak ada habisnya. Aku butuh pekerjaan. Kalau aku memiliki uang untuk ongkos pulang ke desa, mungkin saat ini aku sedang sibuk membantu warga yang sedang Panen. Padi-padi pasti sudah menguning.
Malam ini tidurku sedikit resah, apalagi suara deru motor yang tidak selesai karena jalanan yang berada tepata di sebrang tempatku tertidur ini dijadikan sirkuit untuk kebut-kebutan. Jantungku terasa copot kalau mendengar suara keras seperti itu.
Ingat dulu, sebelum rumah Ibu terendam Lumpur, aku masih bisa bermain-main dengan temanku. Bahkan warung si Mbah termasuk ramai oleh pembeli yang makan di warung nasi. Karena dulu Ibu sudah mengabdi pada majikannya, sehingga aku sering ikut bersama si Mbah berjualan.
Cicit Burung dahulu masih terdengar ceria, tapi semenjak aku beranjak remaja, ketika kakiku menginjak Ibu Kota ini, tak lagi bisa aku dengar suara binatang bersayap yang sering membuat sarang di atas pohon itu. Aku rindu pada nyanyian Burung, karena itu yang mengingatkanku pada rumah, pada Ibu dan si Mbah yang sudah tiada. Jadi aku benar-benar sendiri di dunia ini.
*******************
Tulisan ini diikutsertakan dalam proyek #Jumatulis
By : Binatang Jalang
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)