Oleh:
Sumber: Dusk, Tree, and the Bavarian Sea |
Sore hari dan aku memilih duduk di dermaga ini untuk menikmati senja.
Aku menatap langit, suasana di sekitarku mulai menggelap. Dari kejauhan
aku melihat beberapa remaja baru saja kembali ke darat. Dari pakaian
mereka, aku menduga bahwa mereka baru saja snorkling. Iri sekali. Aku sudah lama tidak pernah lagi snorkling maupun diving dan menikmati keindahan bawah laut yang menakjubkan. Ikan berwarna-warni dan terumbu karang yang cantik; pleasures I longed the most. Pikiranku
melayang ke alasan-alasan kenapa aku bisa berada di sini sekarang. Aku
lelah, sangat lelah, dan sudah tidak lagi memiliki cadangan tenaga yang
cukup dalam menyelesaikan urusan di kantor. Aku sudah terlanjur muak
menghadapi atasanku yang terlalu banyak
menuntut tetapi cenderung tidak realistis, sementara bawahan-bawahanku
juga begitu bodohnya dan tidak dapat diandalkan. Dengan kondisi
perusahaan yang sedang mengalami kemerosotan pendapatan seperti yang
sedang dihadapi kantorku, sudah seharusnya sebuah usaha diversifikasi ekonomi
dilakukan. Setidaknya, itu yang aku pahami. Berbagai analisa yang
dibutuhkan sudah aku lakukan; analisa biaya masuk, analisa peluang, dan
analisa kemenarikan pasar sudah selesai dilakukan bersama tim ahli
perusahaan. Penentuan industri apa saja yang bisa kami masuki dan
bagaimana cara memasuki industri tersebut, strategi untuk mempercepat
pencapaian kinerja dalam industri, penentuan potensi untuk meningkatkan
nilai pasar, bahkan membuat kebijakan terkait investasi dan alokasi
sumber daya yang dibutuhkan juga sudah kami lakukan. Entahlah... Aku
tidak habis pikir, kenapa justru orang-orang tidak kompeten seperti
mereka bisa diterima untuk bekerja di perusahaan selevel kantorku. Ah,
sudahlah... Aku di sini untuk berlibur. Bukan untuk memikirkan mereka.
Aku memilih kembali menghirup es rumput laut, nikmat sekali.
"Kruk...
kruk..." perutku berbunyi. Rupanya memikirkan urusan kantor
membangkitkan selera makanku. Aku memanggil salah satu pelayan restoran
yang berada di dekat dermaga tempatku duduk sejak tadi. Bola mataku
melebar menatap buku menu. Susah payah aku menahan air liur supaya tidak
tumpah begitu melihat gambar-gambar menu masakan yang ada di sana.
Pilihanku jelas, menyantap menu aneka seafood sepertinya paling nikmat untuk saat ini.
"Saya
pesan cumi asam manis, udang kerapu bakar, dan kepiting saus tiram.
Untuk minumannya, saya pesan es rumput laut lagi satu porsi ya. Ditambah
dengan kelapa muda, yang masih berbentuk bulat. Kalau ada jeruk
mandarin, tolong tambahkan perasan air jeruk mandarin ke dalam kelapa
muda. Kalau tidak ada jeruk mandarin, pakai jeruk nipis juga tidak apa.
Untuk es-nya, tolong diletakkan di dalam gelas terpisah." pesanku kepada
pelayan tadi. Aku lihat dia masih mencatat pesananku. Lambat juga. Jika
saja dia bawahanku, pasti sudah aku marahi sejak tadi.
"Ada lagi yang ingin dipesan, Mbak?" tanyanya kemudian.
"Sudah.
Saya pesan itu saja dulu." jawabku, "Oh, iya. Nanti bisa dibawa ke
dermaga semua, kan, pesanannya?" Aku melihat dermaga ini disusun dengan
gaya yang cukup unik. Beberapa bagian dibentuk supaya dapat ditempati
secara privat oleh 1-2 orang saja.
"Bisa, nanti saya antarkan sendiri. Pesanannya untuk berapa orang, Mbak?"
Aku melirik pelayan tadi dengan kesal.
Memangnya dia tidak melihat aku sedang sendiri?
"Maaf,
maksud saya, supaya saya bisa mempersiapkan yang lain, meja atau kursi
kecil untuk dibawa ke sini jika Mbak membutuhkan..." katanya dengan
wajah yang menunjukkan perasaan tidak enak terhadapku.
"Untuk
satu orang. Tidak usah membawa yang lain. Saya ingin menikmati suasana
yang lebih santai, seperti sekarang ini. Segera proses pesanan saya
saja, karena saya sudah sangat lapar. Tolong dahulukan pesanan minuman
saya. Saya tambah pesanan air mineral yang 1,5 liter. Saat ini saya
merasa haus."
Setelah berkata dengan lebih tegas seperti itu, baru kemudian pelayan tadi mengeksekusi pesananku. Syukurlah. Semoga tidak lama.
***
Aku
memperhatikan dia. Sejak tadi aku melihat raut wajahnya menampakkan
kekesalan. Sepertinya, dia sedang butuh dihibur. Aku segera membayangkan
apa saja yang bisa aku lakukan untuk menemaninya. Aku sibuk memikirkan
berbagai cara yang dapat aku berikan untuknya, dan membantunya supaya
menjadi lebih menikmati hidup.
"Aha!
Sedikit mantra pasti berguna..." pikirku dalam hati. Dengan cepat aku
bertelepati untuk menghubungi Ratuku, mengabarkan tentang kemajuan
tugasku kali ini. Sudah sejak seminggu yang lalu, bangsa kami memonitor
perkembangan di negeri yang ditempati oleh makhluk bernama manusia.
Kehidupan mereka penuh dengan masalah. Pantas saja jika mereka mudah
stress. Kami menyeleksi beberapa kandidat yang layak dibawa ke negeri
kami untuk diberikan kesegaran baru dan dibuat menjadi lebih bahagia.
Diputuskan, tugasku kali ini, adalah membantu wanita itu.
Perlahan
aku bergerak ke arahnya, saat dia sedang menunggu pesanannya datang.
Sepertinya kekesalannya semakin bertambah. Kerut di dahinya semakin
mendalam, matanya menyipit marah, dan hembusan napasnya sungguh berat.
"Kasihan..." batinku. Bersabarlah, sebentar lagi aku akan membantumu
untuk merasa lebih bahagia.
Aku semakin bergerak ke arahnya, dan membisikkan sebuah mantra indah untuknya.
Now I lay me down to rest.
I pray that all the world be blessed
Lady Moon and Sister Star Watch over me from afar.
Mother Earth is always there
And keeps me safe within her care
The Lord of Dreams will dance and sing
And happy dreams will to me bring
And when I wake to greet the day
Brother Sun will light my way.
I pray that all the world be blessed
Lady Moon and Sister Star Watch over me from afar.
Mother Earth is always there
And keeps me safe within her care
The Lord of Dreams will dance and sing
And happy dreams will to me bring
And when I wake to greet the day
Brother Sun will light my way.
"Sekarang,
tertidurlah. Aku akan menjagamu..." aku berbisik lagi kepadanya,
mengajaknya dia untuk beristirahat sejenak, "Bersabarlah sebentar.
Nikmati apa yang akan kau alami malam ini. Nanti, saat kau sudah lebih
siap. Tidak, tetapi besok, saat kau menghadapi esok hari, kau akan
memulai sebuah perjalanan indah yang tidak akan pernah kau lupakan."
***
"Mbak... Mbak... Bangun, Mbak... Ini pesanan-pesanan Mbak sudah datang."
Aku
mendengar suara-suara yang memanggilku. Mataku berat sekali, aku sulit
untuk membuka mata. Rasanya, aku terlalu lelah untuk bangun. Sebentar,
sebentar lagi. Aku masih belum ingin bangun.
To-night eternity alone is near:
The sea, the sunset, and the darkening blue;
Within their shelter is no space for fear,
Only the wonder that such things are true.
The thought of you is like the dusk at sea --
Space and wide freedom and old shores left far,
The shelter of a lone immensity
Sealed by the sunset and the evening star.
Suara itu...
Itu suara orang membacakan puisi Dusk at The Sea karya Thomas S. Jones Jr. Puisi yang pas sekali untuk dibaca dan diperdengarkan dalam suasana seperti sekarang. Senja.
"Mbak..."
Sebentar... Eh, senja?!
Aku membuka mata, kaget. Di sekitarku sudah gelap. Aku melihat pergelangan tangan kiriku, jam tangan Swatch yang aku pakai menunjukkan pukul 19.30 WIB. Berapa lama aku tertidur di dermaga ini?
"Maaf,
Mbak, saya terpaksa membangunkan Mbak." pelayan tadi menunjukkan
perilaku tidak enak lagi, mungkin karena masih ada efek karena tadi
sempat aku kasari.
"Tidak apa, saya justru berterima kasih karena sudah dibangunkan. Seharusnya dari tadi..." ujarku.
"Iya,
maaf. Tadi saya takut untuk membangunkan, Mbak. Tapi, karena sekarang
sudah lebih dari satu jam Mbak tertidur, makanya saya nekat
membangunkan. Maaf, Mbak, maaf."
Duh,
aku jadi merasa tidak enak kepada pelayan ini. Aku lihat dia masih
muda, mungkin baru saja lulus SMA. Jangan-jangan dia habis dimarahi oleh
atasannya. Dari pintu restoran, aku melihat seseorang, mungkin supervisor pelayan
ini jika dilihat pakaiannya, menyilangkan tangan di dada sambil menatap
terus ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya, orang itu melihat tajam ke
arah pelayan ini. Aku coba untuk tersenyum, berharap dia merasa lebih
tenang, "Tidak apa. Saya yang justru berterima kasih karena sudah
dibangunkan."
Pelayan muda ini terus saja menunduk, "Saya sudah membuat kamu dimarahi, ya?"
"Iya," jawabnya pelan dan semakin terus menundukkan kepala.
Duh, aku semakin tidak enak dan merasa bersalah. Aku tertidur jelas bukan kesalahan dia.
"Begini
saja. Saya yang akan bicara dengan atasan kamu terkait insiden ini.
Terus terang, jika kamu dimarahi karena saya tertidur, itu bagi saya
aneh. Kamu, tolong saya untuk membungkus pesanan saya tadi. Saya bawa
pulang saja, tidak jadi saya makan di tempat."
"Iya..." dia masih menjawab dengan suara pelan sekali, dan segera membawa pesanan-pesananku untuk dibungkus.
Aku
menghela napas saat melihat punggung pelayan tadi bergerak menjauh, ke
dalam restoran. Kemudian aku merapikan barang-barang bawaan dan berjalan
ke arah supervisor restoran untuk melakukan klarifikasi.
Aku
merasa semakin letih dan ingin segera mengendarai mobilku, pulang ke
vila keluarga yang terletak di kaki gunung di dekat sini. Sejak
terbangun dari tidur tadi, aku dipenuhi oleh perasaan samar entah apa.
Seolah akan segera terjadi sebuah peristiwa penting kepadaku. Bukan
perasaan samar yang menimbulkan perasaan tidak enak, bukan. Aku
merasakan ada semangat baru, ada gairah baru yang muncul.
Entahlah...
***
Cerita diadaptasi berdasarkan interpretasi bebas saya saat mendengarkan Mountain Rhapsody yang merupakan karya dari Kevin Costley.
Detail
Mountain Rhapsody by Kevin Costley. For
piano. Sheet Music. FJH Written For You Piano Solos. Early Intermediate.
Single sheet. Published by The FJH Music Company Inc (FJ.W9272).
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)