Oleh:
Mountain Rhapsody by Christina Keith |
So, here I am, sitting on the veranda, looking at the views around, and drinking a couple cups of coffee. My tummy is full, obviously.
Oh, talking about coffee...
We do all know what the most expensive coffee beans in the world is, don't we?
It's civet coffee, a kind of coffee beans. A real coffee and delicious, indeed. It was coming from Sumatera - Indonesia. But, the most disgusting fact about civet coffee is, well, it was harvested from the poo of the civet cat.
Ewh.
Membayangkan
bagaimana asal muasal dari kopi luwak terus terang membuatku merasa
mual. Aku menghentikan kegiatan menulis di dalam buku harian
sejenak, sebuah kebiasaan yang sudah rutin aku lakukan selama puluhan
tahun setiap kali duduk di beranda vila keluargaku ini; sebuah vila
dengan beranda yang menghadap ke gunung dan dikelilingi pedesaan yang cantik, khas suasana klasik di kaki gunung.
Pikiranku
melayang, khayalanku membumbung tinggi. Dengan malu, aku memilih
kembali menyeruput kopi sebelum menjadi dingin. Abaikan tentang sejarah
kopi luwak tadi, kopiku ini terlalu nikmat untuk dilupakan begitu saja.
Samar-samar aku mendengar Mountain Rhapsody dari player di dalam kamarku, yang terletak tepat di balik beranda. Alunan piano Kevin Costley ini menjadi salah satu pilihan favorit apabila aku sedang berlibur seperti sekarang.
***
Aku memicingkan mata. Sulit sekali untuk dapat melihat dengan jelas. Hujan deras semalam menyisakan kabut
tebal yang menutupi area sekitar, sehingga jarak pandang hanya sampai 3
meter saja. Perlahan aku berjalan menyusuri setapak demi setapak menuju
lokasi kesukaanku; kebun teh milik keluarga kami.
Sayangnya, aku melewati jalan
setapak ini saat kabut sedang merajai. Mungkin benar, seharusnya aku ke
kebun teh saat matahari sudah lebih tinggi. Jadi, aku bisa menikmati
pemandangan di sekitar dengan lebih jelas.
Kalian tahu bunga kipas?
Bunga
yang bentuknya seperti kipas yang sedang dibentangkan, dengan
warna-warni yang beragam dan ceria. Bunga kipas sedang mekar-mekarnya di
musim seperti sekarang. Jika kabut tidak menutupi, pasti aku akan bisa
menikmati aneka warna bunga kipas terbentang luas di sepanjang jalan
setapak yang sedang aku lalui ini.
Bunga kipas sangat cantik, nama aslinya juga cantik; fairy fan-flowers plant.
Fairy.
Seperti dongeng.
Tapi kata fairy
pada nama bunga kipas bukan merujuk pada kisah klasik, mitos, ataupun
cerita rakyat tertentu. Melainkan karena bentuk bunga kipas yang
terlihat lembut, memesona seperti peri.
"Enchanted. Fairy fan-flowers
itu ibarat peri penjaga manusia, yang sifatnya sangat romantis. Bunga
jenis ini memiliki unsur magis, yang akan membuat siapapun memuja
kecantikannya." begitu kata nenekku saat mengenalkan aku ke bunga kipas.
Nenekku yang seorang botanist selalu
bercerita tentang kisah bunga kipas. Aku menduga kuat, kesukaanku pada
jenis bunga ini karena pengaruh dari nenekku juga.
Bunga kipas memiliki nama latin Scaevola aemula. Bunga yang termasuk ke dalam jenis tanaman belukar, banyak tumbuh di semak-semak, dan masuk ke dalam family Goodeniaceae. Asalnya dari Australia dan hanya tumbuh pada ketinggian 8-12 inch
di atas permukaan laut. Bunga kipas ini sangat mudah untuk tumbuh dan
menyebar hingga jarak 5 meter dari pusat bibitnya. Bunga kipas tahan
cuaca panas dan sangat toleran dengan musim kemarau. Bunga ini juga
tidak mudah rusak karena serangga. Saat mekar, daunnya akan berwarna
hijau cerah, sementara bunganya lebih sering ditemui yang berwarna biru
keunguan.
"Lihat
bentuknya saat sedang mekar dan diterpa sinar matahari. Bunga kipas
akan seperti berkilauan, cantik sekali." kata nenekku lagi, dan aku
setuju.
Makanya,
aku berharap kabut ini segera berlalu. Aku ingin melihat bunga kipas
yang digelayuti oleh embun pagi, berkilauan semerbak saat terkena sinar
matahari. Kilau, silau. Namun memancing kita untuk terus mengagumi
kecantikannya, seperti kita saat silau oleh kecantikan manusia.
Bruk!
Refleks,
aku terjatuh saat ada benda kecil menimpa kepalaku. Tanganku segera
meraih benda tadi, mungil sekali. Aku penasaran dan mencoba melihatnya
lebih jelas. Sial, kabut masih membuatku sulit untuk melihat lebih jelas
benda itu apa.
Tunggu dulu!
Benda ini bergerak?
Oh, bukan hanya bergerak, benda ini juga terbang!
Benda tadi hanya sebesar bebijian Adenium obesum; bunga kamboja Jepang.
Benda tadi menggelitiki tanganku dan seolah menarik tubuhku untuk
mengikuti gerakannya. Tubuhku mendadak kaku, ada desir angin yang
meniupi cuping telingaku, membuatku merinding.
"Ikuti
aku..." tiba-tiba benda, eh, maksudku makhluk mungil tadi membisiki
aku. Dan seperti robot, aku bergerak begitu saja mengikuti tarikan dia.
Tubuhnya seperti dihinggapi magnet berkekuatan super yang bisa menghisap
kita menuju pusaran dunianya.
Yang
aku sadari, tubuhku melayang. Melewati rimbunan pepohonan bunga kamboja
Jepang. Jika aku terus mengikuti arah tarikan makhluk mungil ini, lurus
terus, maka aku akan sampai di kebun teh.
Tidak.
Aku bukan dibawa ke kebun teh. Saat aku mengikuti, terus mengikuti,
tiba-tiba saja ada hembusan angin kencang selama sekitar tiga detik.
Iya, hanya tiga detik. Tetapi, hembusan ini membuatku terlempar entah ke
mana. Yang jelas, aku mendarat dengan sempurna di sebuah perkebunan
bunga. Tidak ada lagi kabut, terganti oleh suasana musim semi, di mana
bunga-bunga mulai bermekaran dengan indahnya.
Makhluk
mungil menarikku lagi untuk mengikutinya, terus masuk ke dalam area
perkebunan dalam, yang dihiasi oleh banyak sekali bunga-bunga cantik.
Andai saja nenekku masih hidup, beliau pasti senang jika aku bawa ke
sini.
Sebentar. Aku, baru saja tersadar.
Dari tadi, aku, terbang?
***
Cerita diadaptasi berdasarkan interpretasi bebas saya saat mendengarkan Mountain Rhapsody yang merupakan karya dari Kevin Costley.
Detail
Mountain Rhapsody by Kevin Costley. For
piano. Sheet Music. FJH Written For You Piano Solos. Early Intermediate.
Single sheet. Published by The FJH Music Company Inc (FJ.W9272).
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)