Sunday, September 21, 2014

Jumatulis Season 1 - 10 Gunung, Kipas, Buku, Jalan, Kabut - Mountain Rhapsody [Part 2 - End]

Oleh:


The Mountains are Calling and I Must Go



The mountains stand waiting. 
Firm, frosty, forgiving. 
They call to me. 
Fervently, familiar, fondly. 
They sing to me. 
Serene, soothing, sacred songs. 
They call to me. 
Caverns, cutbanks, caves cooling me. 
They call me home. 
Holding healing helping heart aches roll away. 

Here in this sacred cabin in the forest I rest. 
Restore. 
Renew. 
Recognize. 
Recollect. 
Rejoice in the calling of mountain. 
Calling me home.



Penggalan ode The Mountains Called Me Home terus berdengung di telinga, membuatku terbangun dan tersadar dari mimpi.

Aku melihat sekelilingku. 
Asing. 

Seingatku, terakhir kali aku sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun teh, sambil berkhayal mengenai bunga kipas dan menyenandungkan alunan piano Mountain Rhapsody karya Kevin Costley dan tiba-tiba dibawa ke perkebunan bunga yang sangat luas.

Jadi, ini di mana?

"Hai, kamu sudah terbangun?"

Suara siapa itu?

Kepalaku menoleh ke kanan ke kiri, mencari sumber suara. Nihil. Aku tidak melihat siapapun. Aku hanya melihat hamparan gunung di seberang sana, terpisahkan oleh area danau yang luas sekali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berenang di danau itu. Ada kabut tipis melayang di udara, membuat suasana menggetarkan jiwaku.

Aku teringat penggalan kisah John Muir, seorang peneliti -- environmentalist, naturalist, dan juga traveler -- saat dia bercerita di dalam My First Summer in the Sierra;  

We are now in the mountains and they are in us, kindling enthusiasm,
making every nerve quiver, filling every pore and cell of us.

Katanya, hidup di pegunungan akan terasa panjang, sekaligus pendek. Kita merasakan kebebasan sejati yang sifatnya abadi. Tidak ada efisiensi waktu, yang menjadi sistem penghematan waktu dan khas bagi kehidupan perkotaan, seperti kisah di dalam buku Momo karya Michael Ende. Lama-lama, kita seperti diperbudak oleh waktu. 

Suasana di pegunungan menghasut kita untuk berhenti bekerja, menikmati suasana santai yang panjang dan beristirahat. Kita akan merasa kaya, karena seperti memiliki cadangan waktu yang panjang di antara kehidupan yang terasa pendek.

So extravagant is Nature with her choicest treasures,
spending plant beauty as she spends sunshine,
pouring it forth into land and sea,
garden and desert.
And so the beauty of lilies falls on angels and men, 
bears and squirrels, 
wolves and sheep, birds and bees.

Aku jadi membayangkan, para pendaki mungkin akan lebih merasa bahwa kematian yang mulia adalah kematian ketika mereka sedang mendaki gunung. Seperti yang dialami oleh Soe Hok Gie.

"Hei, kamu kenapa diam saja?"

Suara itu lagi.

"Ayo ikuti aku..." suaranya kali ini berdesing di telinga, kepak sayap-sayapnya terdengar begitu jelas. Aku menoleh, astaga.


La petit fairie...

Cantik sekali, sangat cantik dan mungil. Mataku menatap takjub makhluk mungil itu tanpa kedip. Aku baru tersadar, aura penuh semangat yang sedari tadi aku rasakan di sini merupakan pancaran dari aura makhluk ini, peri mungil ini. 

Spontan aku kembali teringat pada penggalan kisah John Muir, masih dari kisah My First Summer in the Sierra;

A few minutes ago every tree was excited, bowing to the roaring storm, waving, swirling, tossing their branches in glorious enthusiasm like worship. 
But though to the outer ear these trees are now silent, their songs never cease. 

Every hidden cell is throbbing with music and life, every fiber thrilling like harp strings, while incense is ever flowing from the balsam bells and leaves. 
No wonder the hills and groves were God's first temples, and the more they are cut down and hewn into cathedrals and churches, the farther off and dimmer seems the Lord himself.


Aku jadi menduga, jangan-jangan sabda Muir di dalam kisah itu terinspirasi oleh pertemuannya dengan peri mungil yang memancarkan cahaya semangatnya di pegunungan Sierra. Mungkin saja, kan?

Peri mungil menarik tanganku, aku kembali dibawanya melayang. Terbang, menuju sebuah singgasana indah. Singgasana yang dihiasi rerimbunan pepohonan dan bunga-bunga cantik, tidak terkesan megah namun terlihat sangat elegan.

"Aku perkenalkan kamu dengan Ratu kami, pemimpin kami. Ayo..." peri mungil masih menarikku, terbang, terus ke atas.

Di sana ada peri mungil lainnya, dengan penampilan yang lebih anggun. Ada mahkota mungil di atas kepalanya dan kipas-kipas yang berlarian di sebelah kanan dan kiri sang Ratu, memberikan belaian lembut dari para dayang yang seolah tidak ingin Ratu mereka kehilangan kesejukan.

"Salam, manusia. Selamat datang di dunia kami, para peri penjaga pegunungan." sapa sang Ratu kepadaku. Dan aku, hanya dapat berdiri kikuk, canggung, tidak tahu harus membalas salam dengan cara apa. 

Aku membayangkan cara-cara yang dilakukan oleh para penghuni kerajaan di dalam kisah-kisah dongeng yang aku baca atau tonton. Aku mempraktikkan gaya mereka dan berakhir dengan terjatuh. Sial, peri-peri mungil menahan tawa atas tingkah konyolku ini.

Aku langsung berdiri tegak, menatap kembali suasana di sekitarku. "Everything is flowing," desahku, dalam hati, baru menyadari wujud menakjubkan di sini.

Ratu peri mungil sepertinya mampu membaca pikiranku, "Di sini, semua mengalir ke sebuah tempat. Bukan hanya air yang mengalir. Tumbuhan, hewan, bahkan batu yang tak bernyawa pun akan mengalir. Pernah melihat salju yang mencair? Seperti itulah wujud aliran yang menghidupi wilayah di sini. Aliran yang melaju dengan cepat maupun lambat, semua bergerak membentuk keindahan, berpadu dengan udara yang membawa mineral-mineral penting, berirama seperti alunan musik yang meneduhkan."

Mulutku menganga, air liur sampai terjatuh. Memalukan. Aku merasa betah di sini. Suasananya memang asing, tetapi membuatku sangat nyaman.

"The infinite lavishness and fertility of Nature," aku bergumam. Pantas saja John Muir menerjemahkan keindahan seperti ini sebagai inexhaustible abundance amid what seems enormous waste.

"Benar sekali. Alam melimpahkan begitu banyak kemewahan kepada kita. Lihatlah hingga ke kedalaman semesta raya, tidak ada sedikitpun partikel yang sia-sia. Semuanya akan mengalir, bermanfaat, bahkan membentuk keindahan Maha Sempurna." lanjut Ratu peri.

Aku merasa ingin menetap di sini, selamanya. Di sinilah perwujudan dari rumah yang sebenarnya, berada. Damai sekali.

Here...
The mountains are calling and I must go, and I will work on while I can, studying incessantly.


***


"Ah, ini serenade yang cantik sekali. Alunannya begitu indah." sayup-sayup aku mendengarkan lantunan suara merdu dari kejauhan. Mataku memejam, menikmati serenade tadi dengan lebih khusyuk.

Aku memukul lenganku. Aduh! Sakit sekali. Kalau bukan karena terasa ada serangga yang menggigit, aku tidak akan memukul lenganku sekeras itu.

Rasa kesal memaksaku untuk membuka mata. 

Eh?!

Seingatku, aku sedang bersama Ratu peri dan peri mungil penjaga gunung lainnya. Kenapa sekarang ada di sini?

Aku melihat ke arah meja, ada catatanku yang belum selesai.

So, here I am, sitting on the veranda, looking at the views around, and drinking a couple cups of coffee. My tummy is full, obviously.

Oh, talking about coffee...

We do all know what the most expensive coffee beans in the world is, don't we? 

It's civet coffee, a kind of coffee beans. A real coffee and delicious, indeed. It was coming from Sumatera - Indonesia. But, the most disgusting fact about civet coffee is, well, it was harvested from the poo of the civet cat.

Hmm...

Mountain Rhapsody dari Kevin Costley kembali mengalun dari dalam kamarku.



***



Mountain Rhapsody
Prolog
Part 1


Catatan Khusus
Cerita diadaptasi berdasarkan interpretasi bebas saya saat mendengarkan Mountain Rhapsody yang merupakan karya dari Kevin Costley.


Detail
Mountain Rhapsody by Kevin Costley. For piano. Sheet Music. FJH Written For You Piano Solos. Early Intermediate. Single sheet. Published by The FJH Music Company Inc (FJ.W9272).

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)