Oleh:
The Mountains are Calling and I Must Go |
The mountains stand waiting.
Firm, frosty, forgiving.
They call to me.
Fervently, familiar, fondly.
They sing to me.
Serene, soothing, sacred songs.
They call to me.
Caverns, cutbanks, caves cooling me.
They call me home.
Holding healing helping heart aches roll away.
Here in this sacred cabin in the forest I rest.
Restore.
Renew.
Recognize.
Recollect.
Rejoice in the calling of mountain.
Calling me home.
Penggalan ode The Mountains Called Me Home terus berdengung di telinga, membuatku terbangun dan tersadar dari mimpi.
Aku melihat sekelilingku.
Asing.
Seingatku, terakhir kali aku sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun teh, sambil berkhayal mengenai bunga kipas dan menyenandungkan alunan piano Mountain Rhapsody karya Kevin Costley dan tiba-tiba dibawa ke perkebunan bunga yang sangat luas.
Jadi, ini di mana?
"Hai, kamu sudah terbangun?"
Suara siapa itu?
Kepalaku menoleh ke kanan ke kiri, mencari sumber suara. Nihil. Aku tidak melihat siapapun. Aku hanya melihat hamparan gunung
di seberang sana, terpisahkan oleh area danau yang luas sekali. Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berenang di danau itu. Ada kabut tipis melayang di udara, membuat suasana menggetarkan jiwaku.
Aku teringat penggalan kisah John Muir, seorang peneliti -- environmentalist, naturalist, dan juga traveler -- saat dia bercerita di dalam My First Summer in the Sierra;
We are now in the mountains and they are in us, kindling enthusiasm,
making every nerve quiver, filling every pore and cell of us.
Katanya,
hidup di pegunungan akan terasa panjang, sekaligus pendek. Kita
merasakan kebebasan sejati yang sifatnya abadi. Tidak ada efisiensi
waktu, yang menjadi sistem penghematan waktu dan khas bagi kehidupan
perkotaan, seperti kisah di dalam buku Momo karya Michael Ende. Lama-lama, kita seperti diperbudak oleh waktu.
Suasana
di pegunungan menghasut kita untuk berhenti bekerja, menikmati suasana
santai yang panjang dan beristirahat. Kita akan merasa kaya, karena
seperti memiliki cadangan waktu yang panjang di antara kehidupan yang
terasa pendek.
So extravagant is Nature with her choicest treasures,
spending plant
beauty as she spends sunshine,
pouring it forth into land and sea,
garden and desert.
And so the beauty of lilies falls on angels and men,
bears and squirrels,
wolves and sheep, birds and bees.
Aku
jadi membayangkan, para pendaki mungkin akan lebih merasa bahwa
kematian yang mulia adalah kematian ketika mereka sedang mendaki gunung.
Seperti yang dialami oleh Soe Hok Gie.
"Hei, kamu kenapa diam saja?"
Suara itu lagi.
"Ayo ikuti aku..." suaranya kali ini berdesing di telinga, kepak sayap-sayapnya terdengar begitu jelas. Aku menoleh, astaga.
La petit fairie...
Cantik
sekali, sangat cantik dan mungil. Mataku menatap takjub makhluk mungil
itu tanpa kedip. Aku baru tersadar, aura penuh semangat yang sedari tadi
aku rasakan di sini merupakan pancaran dari aura makhluk ini, peri
mungil ini.
Spontan aku kembali teringat pada penggalan kisah John Muir, masih dari kisah My First Summer in the Sierra;
A few minutes ago every tree was excited, bowing to the roaring storm,
waving, swirling, tossing their branches in glorious enthusiasm like
worship.
But though to the outer ear these trees are now silent, their
songs never cease.
Every hidden cell is throbbing with music and life,
every fiber thrilling like harp strings, while incense is ever flowing
from the balsam bells and leaves.
No wonder the hills and groves were
God's first temples, and the more they are cut down and hewn into
cathedrals and churches, the farther off and dimmer seems the Lord
himself.
Aku jadi menduga, jangan-jangan sabda Muir di dalam kisah itu
terinspirasi oleh pertemuannya dengan peri mungil yang memancarkan
cahaya semangatnya di pegunungan Sierra. Mungkin saja, kan?
Peri mungil menarik tanganku, aku kembali dibawanya melayang. Terbang, menuju sebuah singgasana indah. Singgasana yang dihiasi rerimbunan pepohonan dan bunga-bunga cantik, tidak terkesan megah namun terlihat sangat elegan.
"Aku perkenalkan kamu dengan Ratu kami, pemimpin kami. Ayo..." peri mungil masih menarikku, terbang, terus ke atas.
Di sana ada peri mungil lainnya, dengan penampilan yang lebih anggun. Ada mahkota mungil di atas kepalanya dan kipas-kipas
yang berlarian di sebelah kanan dan kiri sang Ratu, memberikan belaian
lembut dari para dayang yang seolah tidak ingin Ratu mereka kehilangan
kesejukan.
"Salam,
manusia. Selamat datang di dunia kami, para peri penjaga pegunungan."
sapa sang Ratu kepadaku. Dan aku, hanya dapat berdiri kikuk, canggung,
tidak tahu harus membalas salam dengan cara apa.
Aku
membayangkan cara-cara yang dilakukan oleh para penghuni kerajaan di
dalam kisah-kisah dongeng yang aku baca atau tonton. Aku mempraktikkan
gaya mereka dan berakhir dengan terjatuh. Sial, peri-peri mungil menahan
tawa atas tingkah konyolku ini.
Aku langsung berdiri tegak, menatap kembali suasana di sekitarku. "Everything is flowing," desahku, dalam hati, baru menyadari wujud menakjubkan di sini.
Ratu
peri mungil sepertinya mampu membaca pikiranku, "Di sini, semua
mengalir ke sebuah tempat. Bukan hanya air yang mengalir. Tumbuhan,
hewan, bahkan batu yang tak bernyawa pun akan mengalir. Pernah melihat
salju yang mencair? Seperti itulah wujud aliran yang menghidupi wilayah
di sini. Aliran yang melaju dengan cepat maupun lambat, semua bergerak
membentuk keindahan, berpadu dengan udara yang membawa mineral-mineral
penting, berirama seperti alunan musik yang meneduhkan."
Mulutku
menganga, air liur sampai terjatuh. Memalukan. Aku merasa betah di
sini. Suasananya memang asing, tetapi membuatku sangat nyaman.
"The infinite lavishness and fertility of Nature," aku bergumam. Pantas saja John Muir menerjemahkan keindahan seperti ini sebagai inexhaustible abundance
amid what seems enormous waste.
"Benar
sekali. Alam melimpahkan begitu banyak kemewahan kepada kita. Lihatlah
hingga ke kedalaman semesta raya, tidak ada sedikitpun partikel yang
sia-sia. Semuanya akan mengalir, bermanfaat, bahkan membentuk keindahan
Maha Sempurna." lanjut Ratu peri.
Aku merasa ingin menetap di sini, selamanya. Di sinilah perwujudan dari rumah yang sebenarnya, berada. Damai sekali.
Here...
The mountains
are calling and I must go, and I will work on while I can, studying incessantly.
***
"Ah,
ini serenade yang cantik sekali. Alunannya begitu indah." sayup-sayup
aku mendengarkan lantunan suara merdu dari kejauhan. Mataku memejam,
menikmati serenade tadi dengan lebih khusyuk.
Aku
memukul lenganku. Aduh! Sakit sekali. Kalau bukan karena terasa ada
serangga yang menggigit, aku tidak akan memukul lenganku sekeras itu.
Rasa kesal memaksaku untuk membuka mata.
Eh?!
Seingatku, aku sedang bersama Ratu peri dan peri mungil penjaga gunung lainnya. Kenapa sekarang ada di sini?
Aku melihat ke arah meja, ada catatanku yang belum selesai.
So, here I am, sitting on the veranda, looking at the views around, and drinking a couple cups of coffee. My tummy is full, obviously.
Oh, talking about coffee...
We do all know what the most expensive coffee beans in the world is, don't we?
It's civet coffee, a kind of coffee beans. A real coffee and delicious, indeed. It was coming from Sumatera - Indonesia. But, the most disgusting fact about civet coffee is, well, it was harvested from the poo of the civet cat.
Hmm...
Mountain Rhapsody dari Kevin Costley kembali mengalun dari dalam kamarku.
Hmm...
Mountain Rhapsody dari Kevin Costley kembali mengalun dari dalam kamarku.
***
Cerita diadaptasi berdasarkan interpretasi bebas saya saat mendengarkan Mountain Rhapsody yang merupakan karya dari Kevin Costley.
Detail
Mountain Rhapsody by Kevin Costley. For
piano. Sheet Music. FJH Written For You Piano Solos. Early Intermediate.
Single sheet. Published by The FJH Music Company Inc (FJ.W9272).
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)