Oleh:
Aku menatap foto lama yang diletakkan di dalam bingkai kayu ini. Ada kesan aneh yang menjalar di tubuhku. Aku merasa tersedot ke dalam pusaran waktu di saat foto ini diambil, seolah aku pernah hadir di sana.
Ingatanku
melayang ke percakapan antara aku dan Bapak tiga hari yang lalu, saat
Bapak membantuku menyiapkan pakaian yang akan aku bawa ke dalam ransel hitam kesayangan -- ransel kebanggaan dari zaman kakekku muda dan aktif mendaki gunung-gunung yang ada di Indonesia.
"Kamu ingat foto yang ada di kamar almarhum Kakek, kan? Nanti jangan lupa kamu bawa pulang ke Jakarta. Biar kita saja yang merawat foto itu..."
Aku kembali menatap foto yang dimaksud Bapak. Ada apa dengan foto ini?
Ingatanku
kembali melayang ke percakapan lain suatu sore, entahlah, aku tak ingat
persisnya kapan. Saat itu, yang aku ingat, aku sedang menikmati kastangel stoples
penuh -- kue batang keju yang menjadi kue favorit saat lebaran di
keluargaku. Hmm... Mungkin sekitar 20 tahun yang lalu, saat aku duduk di
kelas 1 Sekolah Dasar.
"Itu foto kesayangan Bapak. Umur kita semua ini bahkan lebih muda dari foto itu." Aku mendengar suara Bapak berbicara kepada Om Haryo, adik bungsunya.
"Saya tahu, Mas. Justru karena saya tahu itu foto kesayangan Bapak yang tidak boleh sembarang disentuh, makanya saya berpikir untuk membuang foto itu." balas Om Haryo.
"Saya sepakat dengan Haryo, Mas." kala itu, Tante Wina, adik Bapak lainnya ikut berpendapat. "Kita semua pasti menyadari bagaimana posisi foto itu bagi Bapak dan Ibu, iya tho? Saya nda ingin Ibu terus menerus bersedih karena foto itu."
Saat itu aku belum sepenuhnya paham dengan apa yang sedang dibicarakan Bapak dan adik-adiknya. Sampai setahun yang lalu, percakapan terkait foto itu kembali aku dengar setelah pemakaman Nenek.
"Kita semua tahu bahwa foto itu memang membuat Ibu sedih. Tapi, kita juga tahu bahwa Ibu sangat menghargai Bapak, termasuk menghormati keputusan Bapak untuk tetap menjaga foto itu. Jadi, saya memutuskan untuk mempertahankan posisi foto itu di sana, seperti biasa foto itu berada." tegas Bapak.
"Tapi, Mas..." sergah Om Haryo. "Rumah kita di sana praktis sudah nda ada yang menempati lagi sekarang."
"Saya tahu. Tapi masih ada penjaga dan pelayan setia Bapak dan Ibu, yang bisa tetap kita bayar untuk menjaga rumah itu. Kalau kalian keberatan, wis, biar saya yang menanggung semua biaya perawatan rumah." tegas Bapak lagi.
"Bukan itu maksudku, Mas..." Om Haryo masih berusaha menyanggah pendapat Bapak.
"Haryo, saya tahu maksudmu. Mungkin saya dan Wina memang nda paham kondisi-kondisi terakhir tentang hubungan Bapak dan Ibu karena kami keburu tinggal di Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Kamu, sebagai anak bungsu, yang terus melihat situasi di rumah. Saya hanya berusaha melanjutkan cara Ibu dalam menghormati Bapak, itu saja."
Aku melihat Om Haryo menunduk.
Aku tidak mengetahui bagaimana kelanjutan percapakan mereka, aku memilih untuk ke luar rumah keluarga kami di Semarang; tempat kediaman almarhum Kakek dan Nenek, sekaligus rumah masa kecil Bapak dan adik-adiknya. Pekarangan rumah sangat luas dan aku senang duduk-duduk di bangku yang ada di sana sambil mengobrol dengan para sepupu.
Tiba-tiba, seminggu yang lalu, Bapak memintaku kembali ke sini; ke rumah di Semarang. Bapak mengaku habis memimpikan kakek dan nenek. Kata Bapak, Kakek dan Nenek terlihat bahagia di mimpi tersebut. Mereka menyampaikan pesan supaya aku, sebagai anak Bapak, datang ke rumah Semarang untuk mengambil foto yang selama ini menjadi sumber perdebatan antara Bapak dan adik-adiknya. Sebelum aku sempat bertanya, kenapa aku yang dipilih untuk mengambil foto itu, bapak sudah melanjutkan penjelasannya.
"Sepertinya Kakek dan Nenekmu tahu kalau kamu penasaran dengan foto itu..." pernyataan Bapak membuatku terkejut. Aku menatap Bapak dengan heran.
"Coba saja ke sana dan temukan jawabannya..." lanjut Bapak dengan tersenyum.
Lagi-lagi, ingatanku melayang ke suatu senja...
"Itu foto kesayangan Kakekmu..." aku merasakan tangan Nenek merangkulku dari belakang.
"Foto itu sudah ada dari sebelum Nenek dan Kakekmu ini menikah. Sejarahnya cukup membuatku iri..." Nenek melanjutkan ceritanya.
"Nek... Apa Nenek... nda merasa marah?" tanyaku hati-hati.
"Awalnya, iya." jawab Nenek dengan tersenyum, lembut sekali. Senyuman dan suara lembut Nenekku merupakan hal yang paling aku sukai di dunia ini.
"Semakin Nenekmu ini mencintai suaminya, semakin pula menghormati dan bisa menghargai alasan kenapa Kakekmu bisa begitu menjaga foto itu. Benang merah kami sama; cinta. Rasa cinta yang membuat kami berusaha untuk saling menjaga setiap kenangan yang tersisa dari cinta itu. Kakekmu memilih menjaga cintanya dengan menjaga foto itu bertahun-tahun, sementara Nenekmu ini memilih ikut menjaga foto itu demi rasa cintanya ke Kakekmu."
Sejak saat itu aku merasakan kekuatan aneh yang menuntunku untuk mau menjaga foto itu, mungkin demi Nenekku, karena di sisi lain aku merasakan kemarahan tersembunyi terhadap Kakek mulai menjalar di diriku. Aku marah karena Kakek seperti tidak menyadari perasaan Nenek.
Aku menatap foto itu lagi. Tiba-tiba, aku merasa mengantuk.
"Mas Noto mau mendaki gunung lagi?"
Aku memandangi Rahayu, gadis paling manis yang pernah aku kenal, "Iya, Dik... Kenapa? Kamu mau ikut? Kalau kamu ikut, minimal ada kereta kencana yang harus ikut naik ke gunung, hahahaha..."
"Jangan guyon ah, Mas..." Rahayu merajuk, ini bagian yang paling aku sukai.
"Iya, maaf. Sudah ya, Mas Noto hanya bercanda..." pintaku ke calon isteriku ini. "Ada apa? Tumben sekali kamu seperti ini. Biasanya kalau Mas mau mendaki gunung, kamu yang paling cerewet untuk memastikan aku sudah membawa semua yang dibutuhkan."
"Nda ada apa-apa, Mas. Mungkin karena sebentar lagi kita menikah, makanya bawaanku maunya berduaan dengan kamu terus, hehe..." dengan malu-malu Rahayu mengucapkan kalimat ini dan membuat gemas. Aku pun mengacak rambutnya.
"Mas..."
"Yaa..."
Rahayu menghadap ke arahku, "Kamu janji ya, hati-hati selama mendaki nanti. Kamu harus pulang dengan selamat!"
"Iya. Selama ini, insya Alloh, Mas selalu berhati-hati. Kamu seperti baru sekali ini saja melepas Mas mendaki gunung, Dik." Aku memegang kedua tangan Rahayu, "Kamu mau aku bawakan apa dari gunung?"
"Nda usah dibawakan apa-apa. Cukup dengan Mas Noto selamat kembali ke rumah. Tapi, aku ada satu permintaan, Mas... Ada satu hal yang ingin sekali aku punya sejak beberapa hari ini.."
"Apa? Coba katakan. Mas akan penuhi permintaan kamu..."
"Mas ingat dengan tempat kita pertama bertemu dulu? Tempat yang sama dengan tempat orang tua kita berkenalan pertama kali dan akhirnya menjadi teman sampai sekarang?"
"Iya, aku ingat. Ada apa dengan tempat itu?" tanyaku penasaran.
"Mas akan melewati tempat itu kan saat menuju pendakian nanti?" mata itu menatapku dengan penuh harap.
"Iya, tentu." mau tidak mau, aku sampai menahan tawa melihat reaksi Rahayu. Matanya berbinar, indah sekali.
"Mas, aku serius lho."
"Iya, Dik, iya."
"Nanti tolong potret tempat itu ya. Aku merasa ingin sekali memiliki potretnya. Untuk kenang-kenangan. Tolong, ya, Mas. Aku ingin sekali mempunyai potret yang berisi kenangan kita dan orang tua kita. Bahkan, aku sudah membeli bingkainya. Sebentar... " Rahayu sedikit mendesakku, dia juga merogoh tas yang sejak tadi dipangkunya, "Ini dia. Bagus, kan, bingkainya?"
"Wah! Dik, kamu sudah niat sejak lama ya?" Aku sedikit terkejut melihat ulah Rahayu.
Rahayu menatapku dengan tersenyum, manis sekali, "Hehehe... Aku baru membelinya kemarin, Mas. Aku langsung membelinya begitu kemarin, tiba-tiba, aku terpikirkan untuk meminta kamu memotret tempat itu."
Kali ini, aku tidak menyembunyikan keterkejutanku. Rahayu memberikan bingkai tadi kepadaku dan dengan canggung aku terima.
"Aku sengaja langsung membeli supaya Mas selalu teringat untuk memotret permintaanku, selama Mas mendaki gunung nanti, hehehe..."
"Kamu ini, ya... Tumben sekali, Dik." dan Rahayu hanya tersenyum, lagi-lagi tersenyum, membuatku tiba-tiba merasa berat untuk mendaki gunung. Jika saja aku tidak terlanjur berjanji untuk mendaki gunung bersama teman-temanku, sebelum sebulan lagi aku dan Rahayu menikah, mungkin aku benar-benar memilih untuk membatalkan pendakian.
Aku merasa ada yang janggal. Rahayu biasanya selalu bertindak hati-hati, penuh perhitungan. Dia tidak pernah bertindak impulsif seperti yang dia lakukan terkait potret dan bingkai ini. Ini aneh sekali. Muncul sedikit kekhawatiran di dalam diriku, namun aku segera menepisnya.
Dan, tiga hari kemudian, setelah aku turun gunung... Aku baru merasa sangat menyesal karena tidak memilih membatalkan pendakian.
Aku ingat saat itu...
Aku mengusap air mataku. Sejak pagi, aku terduduk di sini, di tempat yang sama dengan tempat yang potretnya ingin dimiliki oleh Rahayu. Tiga hari yang lalu, aku melewati tempat ini dengan tersenyum gembira, memotretnya hingga beberapa kali demi memenuhi permintaan Rahayu -- permintaan yang kemudian menjadi permintaan terakhir darinya. Kali ini, aku di sini sambil menangis kencang dan menunggu kemunculan mayat Rahayu.
Aku baru mengetahui bahwa sudah dua hari ini Rahayu menghilang. Tepat sehari setelah pertemuan terakhirku dengannya, Rahayu tidak pernah kembali ke rumah setelah berpamitan pergi mengajar anak-anak di kampung sebelah. Saat itu Rahayu sedang bertiga dengan teman-temannya.
Penemuan mayat mereka baru diketahui subuh tadi.
Di sinilah kami semua; aku dan keluargaku serta keluarga Rahayu, berikut keluarga teman-teman Rahayu, menunggu dengan cemas. Ada sedikit kelegaan menghampiri kami, saat kesaksian dari yang menemukan mayat mereka menyatakan bahwa mereka bertiga ditemukan dalam keadaan masih berpakaian lengkap. Paling tidak, ah, aku tidak sanggup membayangkan kemungkinan terburuk lainnya.
"Itu foto kesayangan Bapak. Umur kita semua ini bahkan lebih muda dari foto itu." Aku mendengar suara Bapak berbicara kepada Om Haryo, adik bungsunya.
"Saya tahu, Mas. Justru karena saya tahu itu foto kesayangan Bapak yang tidak boleh sembarang disentuh, makanya saya berpikir untuk membuang foto itu." balas Om Haryo.
"Saya sepakat dengan Haryo, Mas." kala itu, Tante Wina, adik Bapak lainnya ikut berpendapat. "Kita semua pasti menyadari bagaimana posisi foto itu bagi Bapak dan Ibu, iya tho? Saya nda ingin Ibu terus menerus bersedih karena foto itu."
Saat itu aku belum sepenuhnya paham dengan apa yang sedang dibicarakan Bapak dan adik-adiknya. Sampai setahun yang lalu, percakapan terkait foto itu kembali aku dengar setelah pemakaman Nenek.
"Kita semua tahu bahwa foto itu memang membuat Ibu sedih. Tapi, kita juga tahu bahwa Ibu sangat menghargai Bapak, termasuk menghormati keputusan Bapak untuk tetap menjaga foto itu. Jadi, saya memutuskan untuk mempertahankan posisi foto itu di sana, seperti biasa foto itu berada." tegas Bapak.
"Tapi, Mas..." sergah Om Haryo. "Rumah kita di sana praktis sudah nda ada yang menempati lagi sekarang."
"Saya tahu. Tapi masih ada penjaga dan pelayan setia Bapak dan Ibu, yang bisa tetap kita bayar untuk menjaga rumah itu. Kalau kalian keberatan, wis, biar saya yang menanggung semua biaya perawatan rumah." tegas Bapak lagi.
"Bukan itu maksudku, Mas..." Om Haryo masih berusaha menyanggah pendapat Bapak.
"Haryo, saya tahu maksudmu. Mungkin saya dan Wina memang nda paham kondisi-kondisi terakhir tentang hubungan Bapak dan Ibu karena kami keburu tinggal di Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Kamu, sebagai anak bungsu, yang terus melihat situasi di rumah. Saya hanya berusaha melanjutkan cara Ibu dalam menghormati Bapak, itu saja."
Aku melihat Om Haryo menunduk.
Aku tidak mengetahui bagaimana kelanjutan percapakan mereka, aku memilih untuk ke luar rumah keluarga kami di Semarang; tempat kediaman almarhum Kakek dan Nenek, sekaligus rumah masa kecil Bapak dan adik-adiknya. Pekarangan rumah sangat luas dan aku senang duduk-duduk di bangku yang ada di sana sambil mengobrol dengan para sepupu.
Tiba-tiba, seminggu yang lalu, Bapak memintaku kembali ke sini; ke rumah di Semarang. Bapak mengaku habis memimpikan kakek dan nenek. Kata Bapak, Kakek dan Nenek terlihat bahagia di mimpi tersebut. Mereka menyampaikan pesan supaya aku, sebagai anak Bapak, datang ke rumah Semarang untuk mengambil foto yang selama ini menjadi sumber perdebatan antara Bapak dan adik-adiknya. Sebelum aku sempat bertanya, kenapa aku yang dipilih untuk mengambil foto itu, bapak sudah melanjutkan penjelasannya.
"Sepertinya Kakek dan Nenekmu tahu kalau kamu penasaran dengan foto itu..." pernyataan Bapak membuatku terkejut. Aku menatap Bapak dengan heran.
"Coba saja ke sana dan temukan jawabannya..." lanjut Bapak dengan tersenyum.
Lagi-lagi, ingatanku melayang ke suatu senja...
"Itu foto kesayangan Kakekmu..." aku merasakan tangan Nenek merangkulku dari belakang.
"Foto itu sudah ada dari sebelum Nenek dan Kakekmu ini menikah. Sejarahnya cukup membuatku iri..." Nenek melanjutkan ceritanya.
"Nek... Apa Nenek... nda merasa marah?" tanyaku hati-hati.
"Awalnya, iya." jawab Nenek dengan tersenyum, lembut sekali. Senyuman dan suara lembut Nenekku merupakan hal yang paling aku sukai di dunia ini.
"Semakin Nenekmu ini mencintai suaminya, semakin pula menghormati dan bisa menghargai alasan kenapa Kakekmu bisa begitu menjaga foto itu. Benang merah kami sama; cinta. Rasa cinta yang membuat kami berusaha untuk saling menjaga setiap kenangan yang tersisa dari cinta itu. Kakekmu memilih menjaga cintanya dengan menjaga foto itu bertahun-tahun, sementara Nenekmu ini memilih ikut menjaga foto itu demi rasa cintanya ke Kakekmu."
Sejak saat itu aku merasakan kekuatan aneh yang menuntunku untuk mau menjaga foto itu, mungkin demi Nenekku, karena di sisi lain aku merasakan kemarahan tersembunyi terhadap Kakek mulai menjalar di diriku. Aku marah karena Kakek seperti tidak menyadari perasaan Nenek.
Aku menatap foto itu lagi. Tiba-tiba, aku merasa mengantuk.
***
"Mas Noto mau mendaki gunung lagi?"
Aku memandangi Rahayu, gadis paling manis yang pernah aku kenal, "Iya, Dik... Kenapa? Kamu mau ikut? Kalau kamu ikut, minimal ada kereta kencana yang harus ikut naik ke gunung, hahahaha..."
"Jangan guyon ah, Mas..." Rahayu merajuk, ini bagian yang paling aku sukai.
"Iya, maaf. Sudah ya, Mas Noto hanya bercanda..." pintaku ke calon isteriku ini. "Ada apa? Tumben sekali kamu seperti ini. Biasanya kalau Mas mau mendaki gunung, kamu yang paling cerewet untuk memastikan aku sudah membawa semua yang dibutuhkan."
"Nda ada apa-apa, Mas. Mungkin karena sebentar lagi kita menikah, makanya bawaanku maunya berduaan dengan kamu terus, hehe..." dengan malu-malu Rahayu mengucapkan kalimat ini dan membuat gemas. Aku pun mengacak rambutnya.
"Mas..."
"Yaa..."
Rahayu menghadap ke arahku, "Kamu janji ya, hati-hati selama mendaki nanti. Kamu harus pulang dengan selamat!"
"Iya. Selama ini, insya Alloh, Mas selalu berhati-hati. Kamu seperti baru sekali ini saja melepas Mas mendaki gunung, Dik." Aku memegang kedua tangan Rahayu, "Kamu mau aku bawakan apa dari gunung?"
"Nda usah dibawakan apa-apa. Cukup dengan Mas Noto selamat kembali ke rumah. Tapi, aku ada satu permintaan, Mas... Ada satu hal yang ingin sekali aku punya sejak beberapa hari ini.."
"Apa? Coba katakan. Mas akan penuhi permintaan kamu..."
"Mas ingat dengan tempat kita pertama bertemu dulu? Tempat yang sama dengan tempat orang tua kita berkenalan pertama kali dan akhirnya menjadi teman sampai sekarang?"
"Iya, aku ingat. Ada apa dengan tempat itu?" tanyaku penasaran.
"Mas akan melewati tempat itu kan saat menuju pendakian nanti?" mata itu menatapku dengan penuh harap.
"Iya, tentu." mau tidak mau, aku sampai menahan tawa melihat reaksi Rahayu. Matanya berbinar, indah sekali.
"Mas, aku serius lho."
"Iya, Dik, iya."
"Nanti tolong potret tempat itu ya. Aku merasa ingin sekali memiliki potretnya. Untuk kenang-kenangan. Tolong, ya, Mas. Aku ingin sekali mempunyai potret yang berisi kenangan kita dan orang tua kita. Bahkan, aku sudah membeli bingkainya. Sebentar... " Rahayu sedikit mendesakku, dia juga merogoh tas yang sejak tadi dipangkunya, "Ini dia. Bagus, kan, bingkainya?"
"Wah! Dik, kamu sudah niat sejak lama ya?" Aku sedikit terkejut melihat ulah Rahayu.
Rahayu menatapku dengan tersenyum, manis sekali, "Hehehe... Aku baru membelinya kemarin, Mas. Aku langsung membelinya begitu kemarin, tiba-tiba, aku terpikirkan untuk meminta kamu memotret tempat itu."
Kali ini, aku tidak menyembunyikan keterkejutanku. Rahayu memberikan bingkai tadi kepadaku dan dengan canggung aku terima.
"Aku sengaja langsung membeli supaya Mas selalu teringat untuk memotret permintaanku, selama Mas mendaki gunung nanti, hehehe..."
"Kamu ini, ya... Tumben sekali, Dik." dan Rahayu hanya tersenyum, lagi-lagi tersenyum, membuatku tiba-tiba merasa berat untuk mendaki gunung. Jika saja aku tidak terlanjur berjanji untuk mendaki gunung bersama teman-temanku, sebelum sebulan lagi aku dan Rahayu menikah, mungkin aku benar-benar memilih untuk membatalkan pendakian.
Aku merasa ada yang janggal. Rahayu biasanya selalu bertindak hati-hati, penuh perhitungan. Dia tidak pernah bertindak impulsif seperti yang dia lakukan terkait potret dan bingkai ini. Ini aneh sekali. Muncul sedikit kekhawatiran di dalam diriku, namun aku segera menepisnya.
Dan, tiga hari kemudian, setelah aku turun gunung... Aku baru merasa sangat menyesal karena tidak memilih membatalkan pendakian.
Aku ingat saat itu...
Aku mengusap air mataku. Sejak pagi, aku terduduk di sini, di tempat yang sama dengan tempat yang potretnya ingin dimiliki oleh Rahayu. Tiga hari yang lalu, aku melewati tempat ini dengan tersenyum gembira, memotretnya hingga beberapa kali demi memenuhi permintaan Rahayu -- permintaan yang kemudian menjadi permintaan terakhir darinya. Kali ini, aku di sini sambil menangis kencang dan menunggu kemunculan mayat Rahayu.
Aku baru mengetahui bahwa sudah dua hari ini Rahayu menghilang. Tepat sehari setelah pertemuan terakhirku dengannya, Rahayu tidak pernah kembali ke rumah setelah berpamitan pergi mengajar anak-anak di kampung sebelah. Saat itu Rahayu sedang bertiga dengan teman-temannya.
Penemuan mayat mereka baru diketahui subuh tadi.
Di sinilah kami semua; aku dan keluargaku serta keluarga Rahayu, berikut keluarga teman-teman Rahayu, menunggu dengan cemas. Ada sedikit kelegaan menghampiri kami, saat kesaksian dari yang menemukan mayat mereka menyatakan bahwa mereka bertiga ditemukan dalam keadaan masih berpakaian lengkap. Paling tidak, ah, aku tidak sanggup membayangkan kemungkinan terburuk lainnya.
Rahayu dan teman-temannya dirampok. Begitulah kesimpulan dari hasil pemeriksaan kepolisian. Sore hari, saat Rahayu dan teman-temannya di perjalanan pulang, kondisi di sekitar mulai menggelap. Saat itulah, kemungkinan Rahayu dan teman-temannya dibawa ke sini. Semua perhiasan yang mereka pakai dan uang tunai yang mereka bawa menghilang, diambil oleh para perampok itu, dan kemudian mereka didorong hingga terjatuh ke jurang yang cukup dalam.
Aku memandang lagi tempat ini, menatap mayat Rahayu yang kini sudah ditemukan dan berada di depanku. Aku mengingat pernyataan dan senyuman terakhir dari Rahayu sebelum aku berangkat mendaki, "Kamu jangan lupa ya, Mas. Ingat aku, selalu."
Aku pikir, itu hanya sekedar pernyataan biasa. Apalagi, dia memang sedang memiliki permintaan khusus kepadaku. Ternyata, itu memang permintaan terakhir Rahayu, supaya aku selalu mengingatnya, karena dia akan pergi selamanya.
Aku membisikkan sebuah kalimat kepada mayat Rahayu, "Aku akan selalu mengingatmu, Dik, selamanya..."
Kemudian, gelap.
Aku, pingsan.
***
Arga...
Aku terbangun. Baru saja, samar-samar aku merasa dipanggil. Aku melihat sekelilingku, masih di ruangan yang sama. Aku melihat jam tangan di lengan kiriku, sudah jam lima sore. Rupanya aku tertidur cukup lama di sini.
Kepalaku terasa berat sebelah, mimpiku kali ini terasa aneh. Ada Kakekku dan perempuan bernama Rahayu, perempuan yang namanya tidak pernah aku kenal dan sosoknya tidak pernah aku lihat di keluargaku.
Pandanganku kembali lagi ke bingkai foto. Ada dorongan untuk membuka bingkai tersebut. Aku membongkar bingkai dengan perlahan, bingkai ini sudah berusia puluhan tahun dan aku tidak ingin merusak kayu-kayunya karena kecerobohanku. Baru kemudian, aku menyadari bahwa bagian belakang bingkai ini termasuk unik. Ada beberapa sekat lagi di dalamnya, terselip di antara kaca dan bagian belakang bingkai.
Aku membuka setiap bagian dengan hati-hati. Aku ingat, foto tersebut merupakan foto tempat yang menjadi latar di adegan terakhir di mimpiku. Tempat bersejarah itu, tempat perjumpaan sekaligus perpisahan.
"Legenda", begitu bunyi tulisan yang ada di belakang foto. Tak terasa air mataku menetes, dalam hati aku meminta maaf karena pernah berprasangka buruk terhadap kakekku.
Aku mengamati sekat lainnya, rupanya di situ ada foto berwarna sephia yang melukiskan seorang wanita; cantik sekali. Matanya bulat dengan bulu mata yang lentik. Alis matanya tebal dan rapi. Hidungnya bangir, bibirnya mungil.
Aku melihat tulisan tangan di belakang foto, "Rachajoe, tjintakoe."
Rupanya, inilah Rahayu. Wanita, yang jika mimpiku tadi benar, inilah calon isteri Kakek sebelum Kakek dan Nenek saling mengenal. Aku kembali mengingat pernyataan Nenek dulu, saat kami di sini dan menatap foto ini sembari mengenang Kakek.
"Ada sebuah legenda, dulu sekali. Jika saatnya tiba, kamu akan mengetahui kebenaran tentang legenda itu. Dan jika saat itu benar-benar tiba di hidupmu, Arga, kamu akan memahami seutuhnya alasan di balik pemujaan Kakekmu terhadap foto ini. Kamu juga akan mengerti, benar-benar mengerti, kenapa Nenekmu ini pun tidak berkutik dalam menghadapi legenda tersebut. Kamu jangan salah paham, memang ada kesedihan yang terpancar dariku, tetapi itu bukan kesedihan karena menghadapi Kakekmu. Itu hanya rasa iba atas nasib Kakekmu di masa lampau. Nenekmu ini mengenal benar siapa Kakekmu dan bagaimana perasaan Kakekmu terhadap isteri yang tidak sempurna ini."
"Apakah ini yang Nenek maksud? Saat aku menyadari kisah di balik legenda yang Nenek pernah sebutkan, maka aku akan memahami seutuhnya tanpa lagi mempertanyakan banyak hal?" ujarku dalam hati.
Tanganku kembali merogoh sekat lainnya. Ada foto lain, masih seorang wanita cantik, namun kali ini aku mengenalnya dengan baik; Nenekku. Aku tersenyum melihatnya. Penasaran, aku kembali melihat di balik foto tersebut. Hanya ada tulisan tangan yang berbunyi, "Hartiena, sempoerna."
Aku masih penasaran dan melihat kembali ke balik sekat-sekat di bingkai tersebut. Aku menemukan sepucuk kertas. Aku buka dan baca tulisan di kertas itu, sebuah surat dari Kakekku. Membacanya membuat dadaku bergemuruh. Itu adalah surat cinta Kakek untuk Nenek, sekaligus surat perpisahan kepada Rahayu.
Jika melihat tanggalnya, surat itu ditulis beberapa bulan sebelum Kakek meninggal. Isinya, meyakinkan Nenek bahwa Kakek mencintainya. Ada permintaan maaf karena telah menjadi suami yang tidak sempurna bagi wanita sempurna seperti Nenek. Ada pula keinginan supaya kelak, saat Kakek meninggal, dia bisa dimakamkan tepat di sebelah makam Nenek.
Aku kembali mengenang Nenekku, "Jangan pernah menyalahkan Kakekmu, jangan pernah. Kakekmu adalah suami yang sangat baik dan bertanggung-jawab. Jika dia sedemikian buruk, tidak mungkin Nenek memilih setia mendampingi dirinya."
"Kamu tahu apa yang sering diucapkan Kakekmu dulu?" lanjut Nenek, "Katanya, dia ingin sekali meninggal terlebih dahulu dibandingkan isterinya karena dia tidak lagi memiliki kekuatan untuk merasakan sakit karena ditinggalkan. Andai saja Kakekmu tahu, justru isterinya ini sempat memiliki perasaan egois karena ingin meninggal lebih dahulu dibandingkan suaminya. Egois sekali, karena permintaan itu didasari keinginan untuk melihat apakah Kakekmu akan menangis histeris dan mengalami kesedihan dalam waktu lama saat ditinggal meninggal oleh isterinya."
Di dalam suratnya, Kakek juga meminta maaf karena masih menyimpan foto kenangan yang menjadi legenda itu, bukan sekedar karena Kakek masih memiliki perasaan khusus terhadap isi dari kenangan yang ada di dalamnya, melainkan karena Kakek juga terikat janji untuk tidak melupakan kenangan tersebut.
Sumber: Pinterest |
Aku menatap foto yang selalu menjadi fokus utama di dalam rumah ini, sebuah foto jembatan. Samar-samar aku kembali mengingat mimpiku, sepertinya aku melihat ada Nenek di sana, sedang melihat ke arah Kakek yang menangis histeris saat meratapi mayat Rahayu.
***
EPILOG
Aku melihatnya. Itu pertama kalinya aku melihat seorang laki-laki yang menangis histeris karena ditinggal meninggal oleh kekasihnya. Saat itu, aku merasa cemburu kepada wanita yang mayatnya sedang ditangisi dia. Rasanya, aku ingin sekali dicintai dengan cara yang sama.
Sejak melihatnya, ada keinginan kuat di dalam diriku untuk melindungi laki-laki itu. Padahal, aku belum mengenalnya. Aku bahkan baru sekali itu melihatnya. Yang aku ketahui, laki-laki itu adalah anak dari teman Bapakku. Kami ke sini, ke Semarang, untuk menemui mereka; keluarga Hardjokusumo. Nahas, kami justru datang di saat yang tidak tepat. Kami datang ketika keluarga mereka sedang berduka karena calon isteri dari anak pertama di keluarga Hardjokusumo ditemukan meninggal setelah dua hari dikabarkan menghilang.
Aku terus melihatnya, Bapak sampai memaksaku untuk pulang ke rumah Hardjokusumo -- tempat kami menginap sementara selama di Semarang, daripada berlama-lama di lokasi penemuan mayat. Tetapi, aku memilih tetap tinggal di sana. Aku sadar, tidak dapat melakukan apapun di sana. Pikirku, paling tidak, aku ingin menemani laki-laki itu meski dia tidak menyadarinya.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)