“Lihat tetangga baru kita, satu setengah tahun menikah, sudah
dikaruniai anak.”
“Lantas bagaimana? Kau mau memilikinya?” ucapku sambil
membolak-balik halaman koran minggu yang sedang ku baca.
“Tentu saja, dalam kehidupan rumah tangga, siapa yang tak
menginginkan kehadiran seorang anak?” Istriku berkacak pinggang, melotot di
hadapanku. “Kita sudah sepuluh tahun menikah, Sayang. Aku rasa sudah saatnya
kita memiliki bayi.”
“Baiklah, kalau hasratmu untuk memiliki bayi memang sudah tak
terbendung lagi, nanti malam kita coba.” Aku mengerling nakal kepada istriku,
yang dibalasnya dengan senyuman manja dan sebuah kecupan di pipi kiriku.
***
“Kau benar-benar
menginginkannya?” aku berbisik di kuping istriku. Malam telah larut, lampu
telah padam, tetapi aku bisa melihatnya tersenyum sembari menganggukkan kepala.
“Baiklah, dalam hitungan
ketiga...”
“Satu...”
“Dua...”
“Tiga!”
Sekuat tenaga aku membenamkan
bantal pada wajah lelaki yang tengah terbaring itu, diikuti oleh istriku, pada
perempuan yang tidur di sebelahnya. Lelaki itu tersentak dan mengejang, tangannya
berusaha menggapai, yang kubalas dengan menekan bantal pada wajahnya lebih
kuat. Butuh waktu sedikit lama membuatnya benar-benar tak bergerak.
Setelah memastikan kedua tetangga
baru kami tak lagi memberi perlawanan, istriku melangkah ke keranjang bayi,
mengambil bayi itu dengan hati-hati agar tak terbangun, menciumnya perlahan sambil
berbisik, “Sekarang kau anakku...”
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)