Namanya Dara, perempuan yang aku jemput di Stasiun kereta api Gambir ini baru saja mendaki Gunung. Katanya di sana dia bisa merefleksikan dirinya serta menenangkan pergolakan dalam dirinya. Aku memang lebih senang mendengarkan ceritanya. Terlebih matanya sering berputar jika dia merasa topik pembicaraannya mulai tidak lagi menarik.
Aku berdiri di depan sebuah Kipas, dekat dengan beberapa orang yang sepertinya juga menunggu sama sepertiku. Sambil menghabiskan waktu, aku memilih untuk membaca sebuah Buku, entah kenapa kisah dalam buku ini terlalu cengeng bagiku. Tapi apa mau dikata lagi? Buku ini dipinjamkan Dara padaku, katanya bagus untuk membacanya. Sementara aku tak sabar ingin bertemu sepasang mata yang membuatku gemas.
Sosoknya terlihat dari ujung jalan, dia melambaikan tangan sambil berlari kecil. Ransel di punggungnya yang besar tampak tak bergeming. Semoga saja punggungnya tidak cedera, tapi apa peduliku, aku lebih senang dengan matanya. Semoga kelelahannya bisa mempermudahku malam ini. Kondisi Jalan yang sedikit padat membuatnya tertidur di sampingku, sayangnya aku tak bisa melihat bola matanya bergerak-gerak, tapi setidaknya masih bisa aku lihat meskipun matanya tertutup. Bola mata itu menari-nari dari balik kelopak matanya, membuatku ingin segera memasukkannya ke dalam stoples.
Dia tertidur lelap sekali, kami belum menjalani ritual seperti menonton televisi, film atau apapun. Sambil memakan makanan dari restoran cepat saji yang tadi aku beli. Akhirnya aku memutuskan untuk segera mendudukkannya di kursi, kelelahan membuat semua ini tampak begitu mudah. Sebenarnya aku tidak suka dengan kemudahan, aku suka dengan erangan yang tercekat, sorot mata ketakutan dan segala macamnya. Tapi aku malas untuk menunggu dia terbangun.
Tangan dan kakinya sudah kuikat kencang, dia masih belum terbangun. Tampaknya benar-benar kelelahan. Aku sandarkan kepalanya di kursi, kubelai kepalanya dan kukecup dahinya. Aku membuka paksa kelopak matanya dan memulai operasi kecil yang aku ketahui saat bersekolah di jurusan kedokteran. Hanya beberapa semester sebelum akhirnya aku di DO karena melakukan tindakan percobaan operasi pada seorang temanku, bukan pada Cadaver. Hei, bukankah mengoperasi pasien harus dipraktekkan secara real? Aku hanya dikenai surat DO, juga kewajiban untuk memeriksakan diri pada seorang psikiater.
Kedua matanya sudah berada di dalam stoples, dia tetap tidak bergerak. Aku kebingungan sebenarnya, tapi aku hanya terdiam. Suara ketukan di tengah malam terdengar dari luar pintu apartementku. Saat aku mengintip, sosok Dara ada di depan pintu. Tubuhku merinding seketika, bertanya-tanya kemudian. Ketukan itu terus berbunyi, sementara aku terduduk lemas di balik pintu tanpa membukanya.
—— The End—-
*Binatang Jalang*
*****************************
Tulisan ini diikutsertakan dalam proyek #Jumatulis
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)