Oleh:
Aku menatap tumpukan barang-barang yang aku beri label sebagai barang-barang paling berharga di dalam hidupku. Ruangan khusus ini sengaja aku dedikasikan untuk mereka. Bibirku menyunggingkan senyuman penuh rasa senang. Tangkapanku hari ini sangat memuaskan.
***
"Malila. Nama saya Malila..."
"Nama yang bagus. Apa artinya?"
Aku
menatap ke arah pria paruh baya di depanku ini, sambil terus
memperlihatkan senyum andalanku, "Tidak tahu, Pak. Saya sendiri tidak
memahami artinya. Sepertinya, orang tua saya hanya memberikan nama
secara asal saja, yang penting terdengar bagus...."
Aku masih menatap ke arah pria paruh baya di depanku... Tunggu, siapa tadi namanya? Kualihkan pandangan ke arah name tag
yang sedang ia kenakan. Oh, Pak Hendrawan. Ya, Hendrawan. Sepertinya,
Maura akan sangat senang kalau mendapatkan tangkapan seperti Pak
Hendrawan ini. Aku paham sekali dengan selera Maura; tidak peduli dengan
penampilan fisik, yang paling penting adalah isi dompetnya. Aku
terkekeh membayangkan bagaimana air liur Maura akan menetes dengan deras
begitu kukenalkan dengan Pak Hendrawan.
"Ada yang lucu?" pertanyaan Hendrawan membuyarkan pikiranku.
"Tidak
ada, Pak. Saya hanya teringat dengan Maura. Bapak, kan, tahu...
Kedatangan saya ke kantor Bapak, walaupun terkesan formal, tetapi kita
sama-sama tahu ada bisnis apa di antara kita...." jawabku dengan senyum
tetap tersungging di bibir.
Sepertinya,
Pak Hendrawan cukup puas dengan jawabanku. Kepalanya mengangguk-angguk
seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Patuh sekali mendengarkan
penjelasanku terkait bisnis kami.
"Bapak sudah siap bertemu dengan Maura malam ini?"
"Tentu! Tentu saja saya sudah sangat siap."
"Kalau begitu, sampai jumpa di tempat pertemuan kita nanti malam, Pak. Nantikan suguhan istimewa dari Maura...."
Ya, suguhan istimewa. Benar-benar istimewa. Aku semakin tidak sabar untuk melaksanakan misi malam ini.
***
Aku
mempercepat laju mobil, berharap sampai di apartemen tepat waktu.
Malila sudah berulang kali mengingatkanku, pagi tadi, supaya aku tidak
terlambat. Kurang dari 45 menit lagi pelanggan baruku akan sampai.
Artinya, aku hanya memiliki waktu sedikit untuk mempersiapkan diri.
Untungnya, lokasi hotel, tempat aku dan Pak Hendrawan bertemu, sangat
dekat.
Aku tidak boleh terlambat. Malam ini harus berjalan dengan lancar.
Aku membayangkan wajah Malila nanti. Dia pasti berhasil untuk mendapatkan yang diinginkannya malam ini.
Cukup
pertemuan terakhir saja yang menjadi satu-satunya kegagalan di dalam
perjalanan kisah kami berdua. Saat itu, aku terlalu bodoh untuk
menyadari bahwa klien kami begitu licik dan mudah membaca pola kami. Aku
dan Malila sampai bersusah-payah mengubah pola supaya tidak lagi
mengalami kesalahan yang sama. Bukan berarti, kami berdua, selalu
menggunakan pola yang sama. Tidak. Ini tidak pernah terjadi. Kami selalu
membuat pola yang berbeda dalam menjalankan aksi, meskipun hasil
akhirnya tetap saja sama; ada kepuasan di diriku dan di diri Malila.
Kepuasanku,
tentu saja, uang berlimpah yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupku dan adikku; Malila. Sejak orang tua kami meninggal
dunia saat kami masih berusia 15 tahun dan 5 tahun -- jangan tanya
mengapa kami bisa memiliki jarak usia yang cukup jauh. Tanyakan saja
pada orang tua kami, yang tentunya tidak akan dapat kalian tanyakan
untuk sekarang, hahaha -- aku harus memutar otak untuk dapat bertahan
hidup. Satu-satunya pilihan paling masuk akal bagiku, ya, menjalani
bisnis ini.
Awalnya,
Malila hanya mengekor saja. Anak kecil, dia tidak perlu tahu secara
mendetail tentang apa saja peranku selama menjalani bisnis. Meskipun
usianya sekarang sudah memasuki 20 tahun, aku melarang keras
keinginannya untuk mengikui jejakku. Tidak akan. Dia membantuku
mendapatkan klien, ini tidak masalah, tetapi jangan pernah menjadi objek
pemuas juga. Cukup aku saja.
Aku
sudah merancang kehidupan baru bagi kami berdua. Pak Hendrawan akan
menjadi klien terakhirku. Setelah ini, aku akan mengajak Malila hidup di
tempat lain -- tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenali kami
berdua, tempat di mana aku dan Malila benar-benar mampu menjalani
kehidupan yang lebih normal. Aku sudah mulai khawatir dengan Malila,
amit-amit kalau dia menjadi terjebak di bisnis ini seperti diriku.
Amit-amit.
***
Berulang-kali
aku menunggu kode dari Maura, tetapi tidak juga kudapatkan. Seharusnya,
kalau menilik dari kebiasaan sebelumnya, saat ini aku sudah masuk ke
dalam ruangan dan melakukan eksekusi akhir dari permainan di bisnis
kami. Tetapi, aku tidak berani bergerak tanpa kode karena khawatir akan
mengacaukan posisi Maura.
Maura selalu bergerak sebagai starter.
Dia akan merayu klien hingga mabuk kepayang -- mabuk dalam arti
sebenarnya, kalau kau penasaran, lalu menciptakan sensasi penuh ilusi
seolah klien tersebut mendapatkan kepuasan yang mereka harapkan, dan
terakhir meninggalkan klien tertidur pulas dengan uang dan beberapa
benda miliknya kami rampas.
Aku
akan menjadi "tukang bersih-bersih" di permainan ini. Maksudku,
membantu menghilangkan jejak. Oh ya, tentu saja ketika berhadapan dengan
klien, aku dan Maura tidak pernah tampil seperti apa adanya kami. Haram
hukumnya.
Karena
penasaran dan juga merasa tidak enak, aku segera menuju ke hotel. Aku
mengumpat di dalam hati karena kami tidak pernah mengandalkan gadget atau social media atau email
untuk berkomunikasi jika terkait bisnis, demi menjaga kerahasiaan dan
tidak meninggalkan jejak. Cukup Malila dan Maura, nama kecil kami yang
dikenal, itupun hanya dikenal oleh oleh klien.
***
Aku
merasakan firasat buruk. Sepertinya Pak Hendrawan bukan klien mudah.
Aku harus melakukan sesuatu sebelum terlambat. Setidaknya aku harus
menyelamatkan Malila, harus!
Aku
melihat korek gas di meja dekat ranjang. Aku raba perlengkapan lain
yang selalu aku persiapkan di dalam tas kalau sedang menjalani bisnis.
Aku masih ingat bahwa ada sedikit bensin di dalamnya. Aku perhatikan
ruangan suite ini. Tidak ada pilihan lain, bakar!
***
Aku
menatap tumpukan
barang-barang yang aku beri label sebagai barang-barang paling berharga
di dalam hidupku. Ruangan khusus ini sengaja aku dedikasikan untuk
mereka. Bibirku menyunggingkan senyuman penuh rasa senang. Tangkapanku
hari ini sangat memuaskan; sebuah dompet cantik yang mirip dengan yang
dibawa Maura terakhir kali, 10 tahun yang lalu. Aku berhasil
mendapatkannya dari hasil lelang online. Susah sekali mendapatkannya karena model yang sama sudah tidak pernah diproduksi lagi.
Di
dalam ruangan kesayanganku ini terkumpul semua benda yang
mengingatkanku kepada Maura, kakakku. Satu-satunya keluarga yang aku
ingat dengan baik. Walaupun Maura sering bercerita bahwa kami pernah
memiliki orang tua, tidak ada satupun jejak yang bisa mengingatkanku
kepada mereka. Bahkan, selembar foto pun aku tidak punya.
Dengan
pelan, kuusap syal terakhir yang ditinggalkan Maura untukku. Dulu, aku
selalu mengumpulkan syal. Setiap kali Maura selesai menjamu klien,
uangnya digunakan untuk tabungan atas namaku dan sebagian kecil
dibelikan syal baru kesukaanku.
Udara
dingin merambahi tubuhku, segera saja kuketatkan lilitan syal di leher
untuk menghalaunya. Kota kecil ini sudah memasuki musim dingin.
Kalian
tentu heran mengapa, sekarang, aku bisa terdampar di sini. Aku tidak
pernah mengetahui bahwa Maura sudah menyiapkan segalanya untukku, secara
diam-diam, termasuk wasiatnya terkait kepindahanku ke sini.
Semakin
aku mengingat Maura, semakin pikiranku dibawa ke kejadian dulu,
kejadian yang menjadi akhir perjalanan bisnis kami sekaligus menjadi
awal mula keberangkatanku ke dunia baru.
SAYA BUNUH KAMU!!!
Hanya
itu teriakan terakhir yang aku dengar dari dalam kamar hotel.
Selebihnya, aku tak lagi mengingatnya. Tiba-tiba saya suasana berubah
senyap dan terdengar ledakan dari arah kamar, tidak lama muncul api yang
cukup besar.
Aku
sempat berpikir bahwa Maura terbunuh oleh Pak Hendrawan, ternyata
pikiranku salah. Justru di olah TKP selanjutnya -- yang hanya bisa aku
simak melalui berita karena pesan terakhir Maura yang diletakkan di
kamarnya menyuruhku untuk segera pergi dari Indonesia -- aku menyadari
bahwa Maura-lah yang membunuh Pak Hendrawan dan kemudian membakar
ruangan hotel. Aku tidak ingat lagi detail-detailnya, sepertinya sudah
membeku di dasar otak tanpa pernah aku sadari. Mungkin karena peristiwa
tersebut begitu traumatis bagiku.
Tiba-tiba
saja aku sudah berada di sini. Tiba-tiba saja aku tidak lagi memiliki
keluarga. Tiba-tiba saja aku harus menjalani kehidupan baru sesuai
keinginan terakhir Maura, aku menyadari bahwa Maura sudah mempersiapkan
kehidupan baruku dengan begitu sempurna tanpa pernah aku mengetahui
sejak kapan dia mempersiapkan semuanya. Dan tiba-tiba saja aku menjadi
begitu terobsesi untuk mengumpulkan apapun, apapun yang bisa
mengingatkanku dengan Maura, karena tidak ada satupun benda-benda milik
Maura yang bisa aku bawa. Ada hasrat yang begitu kuat yang membuatku
selalu ingin mengumpulkan semua hal yang bisa kuraih, yang dapat
membuatku melepas rindu terhadap Maura.
Kamu
harus hidup dengan jalan yang lebih baik. Jangan pernah terpikir untuk
mengulang kehidupan lama, kecuali kamu sudah tidak menghargaiku sebagai
kakak yang begitu menyayangimu. Jangan pernah mencoba untuk kembali ke
Indonesia, jangan pernah. Kamu jangan khawatir akan kehilangan aku
karena aku akan selalu ada dan mengawasimu, selamanya, mungkin tanpa
pernah kamu menyadarinya.
Aku
tidak tahu mana yang lebih benar, kenangan Maura atau udara dingin,
yang membuatku sekarang terduduk di ruangan kenangan dan menangis
histeris. Tangisan histeris pertama yang berhasil aku keluarkan sejak
aku kehilangan Maura, selamanya.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuka hati! :)