Thursday, September 18, 2014

Jumatulis Season 1 - 02 Air Ketuban - Let It Go, Bella...


Oleh:


Desember, 2007.
Persiapan pelatihan.


"Halo, Mbak Bella. Saya Mario dari Insan Berdaya."
"Oh iya, Mas Mario. Jadi bagaimana konsepnya nanti?"
"Itu dia. Email dari Anak Bangsa sudah kami baca dan diskusikan, konsep dari kami sudah saya kirim ke Mbak Bella barusan. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, saya atur waktu untuk meeting besok jam 10.00 WIB di kantor Anak Bangsa, gimana? Biar saya dan tim Insan Berdaya yang datang ke kantor Mbak."
"Kalau dimajukan di jam 08.00 WIB saja gimana Mas? Jam 10.00 saya ada rapat internal."
"Oke, besok pagi jam 08.00 WIB di kantor Anak Bangsa."


***


Maret, 2014


Mas Mario. 

Tiba-tiba saja aku teringat dengan percakapan kita 7 tahun yang lalu. Percakapan pertama yang kemudian menjadi percakapan pembuka di pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. 

Semua berawal dari rencana leadership training for children bagi anak-anak binaan kantorku dulu. Kebetulan program tersebut menjadi tanggungjawab pekerjaanku. Atas saran beberapa orang, aku memutuskan untuk menghubungi biro konsultasi milik keluargamu. Kebetulan pula, orangtuamu adalah dosenku dulu.

Aku tidak menyangka jika itulah jalan untuk jalinan kisah kita. Salah satu kisah yang menjadi kisah dengan dampak paling signifikan di hidupku saat itu.

"Bella, kamu melamun?" sapa Ibuku. Aku tersentak, tidak menyangka jika Ibuku akan memperhatikan aku.

"Kamu ndak perlu khawatir, Bel. Semua pasti akan baik-baik saja."

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi Ibu.


***


Februari, 2008.
Kegiatan pelatihan. Hari ketiga.


"Wah, saya enggak sangka kalau ternyata Mbak Bella masih muda." ujar Mas Mario saat kami mulai menjalankan program pelatihan selama dua minggu di Puncak untuk salah satu komunitas anak binaan kantorku.

"Saya pikir, paling tidak saya akan berhadapan dengan perempuan seumuran saya yang sudah 35 tahun. Ternyata, saya berhadapan dengan yang baru lulus S1 dan berusia 22 tahun. Hebat kamu sudah langsung duduk di posisi Project Manager seperti sekarang. Di usia kamu, saya bahkan belum lulus S1 hahaha."

Aku ingat bahwa aku hanya tertawa lepas menanggapi pujianmu saat itu. Andai kau tahu, Mas Mario. Saat itu aku lebih banyak gugup ketika berhadapan langsung denganmu. Kharisma yang miliki seolah menghisapku begitu kuat sehingga aku tidak mungkin tidak memperhatikanmu. Caramu berbicara dan menghadapiku begitu menyedot perhatianku. Tanpa kusadari, kekagumanku terhadap dirimu menjadi begitu besar.

Di sela-sela kegiatan, aku pernah berjalan keliling lokasi bersama salah satu keponakanmu yang bernama Baldi dan hanya lebih tua setahun dariku. Well, karena biro konsultasi milik keluargamu ini membuatku terpikir untuk membuka biro dengan konsep yang sama. Biro keluarga, diisi oleh satu keluarga tapi dengan manajemen yang profesional. Ayah, Ibu, adik, bahkan keponakanmu menempati posisi masing-masing dengan tugas masing-masing. Tetapi, tetap merekrut orang luar untuk posisi-posisi yang tidak dapat ditangani langsung oleh kalian. 

"Bel, kamu mirip sama tanteku." Baldi tiba-tiba berkata seperti itu saat kami masih asyik berkeliling lokasi sambil memotret keindahan pemandangan di sana.

"Oh ya?" aku berusaha untuk bersikap biasa.
"Bukan cuma aku aja yang bilang kok. Dari awal lihat kamu, Om Mario juga bilang gitu."
"Hahaha, mukaku pasaran dong ya... Memangnya, ini tante kamu yang mana, Baldi?
"Tanteku yang isterinya Om Mario."

Kamu tahu, Mas Mario. Ketika Baldi berkata bahwa kamu telah beristeri, hatiku terasa sakit. Aku juga bingung, kenapa aku harus merasa sakit hati. Aku baru mengenalmu sekitar 2 bulan sejak perkenalan pertama kantorku dan biro keluargamu, kegiatan pelatihan pun baru berjalan tiga hari.

Aku bukannya tidak tahu bahwa kamu telah menikah. Kehadiran Cinta, gadis kecil berusia 4 tahun yang datang di hari kedua, membuatku sempat kaget karena menyadari bahwa kamu bahkan telah memiliki anak.


***

Maret, 2014.


"Bella, kamu melamun lagi?" Ibu menatapku khawatir.
"Ndak, Bu. Hanya sedang berpikir saja kok."

Aku sangat memahami kondisi di sekitarku, terutama Bapak dan Ibu. Terlihat sekali bahwa mereka mencemaskan kondisiku akhir-akhir ini. Kami sama-sama sedang menanti sebuah keajaiban yang akan segera hadir di dalam hidup kami. 

"Ndak perlu takut, Bel. Percaya sama Allah..."
"Iya, Pak... Tolong do'anya untuk kami..."


***

Februari, 2008.
Kegiatan pelatihan. Hari ketujuh.


"Kamu akrab dengan Cinta ya, Bel..."

Mbak Jenna, salah satu atasanku di kantor, sedang memperhatikan foto-foto kegiatan pelatihan.

"Nih, coba deh kamu lihat sendiri. Ada banyak foto kamu dan Cinta lagi bareng. Lagi berenang, main monopoli, main boneka, main bola, bahkan ada yang Cinta tidur di pangkuan kamu atau ini deh lihat pas Cinta ngambek terus kamu gendong."

Aku terus memperhatikan jalannya kegiatan pelatihan selama Mbak Jenna sibuk memberikan komentar. Kebetulan sedang sesi yang diisi langsung oleh Mas Mario.

"Bella, aku boleh ngomong sesuatu ke kamu?"
"Ya boleh lah Mbak, hahaha."
"Eh, enggak jadi deh..."
"Mbak Jen! Aku gelitikin nih hahahaha. Mau bahas apa?"

Tetapi Mbak Jenna malah kembali memperhatikan foto-foto di kamera.

"Kalau aku perhatikan, eh ini bukan komentar aku doang lho, aku sama beberapa orang pernah bahas ini. Lebih tepatnya sih bergosip, bahas kamu hehehe."

Eh?!

Mau tidak mau, aku jadi berhenti memperhatikan sesi di mana Mas Mario sedang memberikan penjelasan kepada anak-anak, dan mengalihkan perhatian kepada Mbak Jenna.

"Kalau kami perhatikan, kamu dan Cinta itu dekat sekali hubungannya. Dari awal Cinta hadir di kegiatan kita ini, dia terus menempel ke kamu. Aku sama yang lain pernah lho ajak dia main juga, tapi yang dia cari cuma Tante Bella."

Aku hanya tersenyum geli menanggapi Mbak Jenna, "Berarti aku pawang anak, Mbak! Hihihi..."

"Serius lho, Bel. Bahkan, kalau dilihat-lihat, kamu dan Mas Mario itu juga terlihat akrab. Kalau sudah ada kamu, Mas Mario, dan Cinta bareng pasti kalian heboh sendiri. Kayak keluarga kecil. Padahal kalian juga belum lama saling kenal kan? Kegiatan kita juga baru masuk seminggu."

Lagi-lagi, aku hanya tersenyum geli menanggapi pernyataan Mbak Jenna.

"Bella, kamu tahu kan kalau Mas Mario itu sudah menikah dan kamu masih single?" Mbak Jenna memegang tanganku lembut.

"Aku tahu kok, Mbak. Jangan khawatir, aku tahu batasan, kalau Mbak khawatir tentang itu..."

Mbak Jenna sudah seperti kakakku sendiri. Dia bukan sekedar atasan dan supervisor, tetapi juga guru dan pelindungku. Aku bisa memaklumi kekhawatiran yang jelas nampak di wajahnya itu.

"Kata Pak Noto, Bu Prames, Mbak Anne, bahkan Baldi dan Cinta, kamu mirip sekali dengan isteriya Mas Mario. Semua trainer dari Insan Berdaya juga pernah bahas kamu saat jam sarapan tadi pagi, katanya kamu benar-benar mirip isterinya Mas Mario."


***


Maret, 2014.


"Kalau ndak keberatan, aku sedang ingin sendiri. Tolong bilang ke yang lain untuk keluar dulu dari ruanganku. Bapak sama Ibu juga perlu istirahat. Maafkan aku kalau jadi ndak sopan ke Bapak dan Ibu. Tolong temani Mas-ku saja, dia pasti sedang cemas juga."

Bapak dan Ibu, dengan kelembutan mereka yang seperti biasa, hanya tersenyum dan mengucap lembut pipiku untuk mengiyakan permintaanku tanpa bertanya lebih lanjut. 

Kondisiku saat ini membuatku teringat kembali dengan kisahku dan Mas Mario, terutama kisah keluarga kecilnya dulu. Terus terang, ingatan ini membuatku semakin diterpa kekalutan. Ada bagian dari diriku yang membuatku tidak sanggup membayangkan jika kondisi yang sama akan menimpa keluargaku saat ini.

Aku sangat takut, untuk itulah aku mencoba untuk sendiri dan tidak ingin diganggu oleh yang lain. Aku ingin menangis tanpa dilihat langsung oleh keluargaku. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya, termasuk apapun yang mungkin segera menimpaku, bahkan persiapan untuk mengatasi ini sudah aku lakukan sejak lama. Tapi, semakin mendekati waktunya, semakin pula keringat dingin membasahi tubuhku. Nampaknya, aku belum siap jika harus meninggalkan semuanya.


***


Februari, 2008.
Kegiatan pelatihan. Hari kesepuluh.


"Tanteku sudah meninggal."
"Eh? Tante yang mana lagi, Bal?"
"Tanteku yang isterinya Om Mario."

Duh.

"Tanteku itu meninggal waktu proses melahirkan adiknya Cinta."

Aku bingung bagaimana harus menanggapi cerita ini.

"Kejadiannya baru 5 bulan yang lalu. Karena bayinya tidak juga lahir, akhirnya diambil proses caesar. Ternyata bayi sudah meninggal di dalam. Sayangnya, air ketuban yang sudah pecah masuk ke dalam pembuluh darah. Tanteku meninggal karena keracunan air ketuban itu. Kata dokter, air ketuban menyumbat pembuluh darah di paru-paru. Dalam hitungan menit, alirah darah ke jantung juga ikut tersumbat. Semua prosesnya cepat sekali, Bel. Tiba-tiba Tanteku ikut menyusul meninggal karena gangguan di jantung dan paru-paru."

"Innalillahi... Turut berduka ya. Aku baru tahu ceritanya."

"Cinta termasuk anak yang kuat. Dia justru yang terlihat lebih tenang. Padahal, hubungan dia dan Bundanya itu sangat dekat. Om Mario yang sampai histeris dan sempat seperti mayat hidup selama seminggu."

Ah, Mas Mario. Entah rasa apa yang membuatku ingin sekali memeluk dan memberikan kehangatan kepadamu ketika Baldi menceritakan kisahmu.

"Waktu melihat kamu, Cinta, dan Om Mario bersama-sama... Itu seperti melihat Tante Farah seperti hidup lagi. Aku dan lainnya, yang masih ingat bagaimana progress Om Mario sejak Tante Farah meninggal sampai sekarang, merasa surprise juga waktu lihat Om Mario bisa terlihat lepas lagi. Pengaruh kehadiran kamu kayaknya ya, hehehe."

Hmm...

"Eh, aku enggak bermaksud apa-apa kok, Bel. Maaf kalau kamu tersinggung." 

Aku hanya kembali tersenyum menanggapi Baldi, "Gak apa..."

Jadi, begitu ceritanya. Diam-diam aku bersyukur karena ternyata Mas Mario seorang duda. Ada getaran aneh di dadaku saat aku membayangkan bahwa masih memiliki peluang untuk menikahi Mas Mario. Getaran yang sama aku rasakan saat bersama dengan Cinta, keinginan kuat untuk menjadikan Cinta sebagai anakku. Aku seolah memiliki ikatan samar dengan Mas Mario dan Cinta, yang membuatku memiliki keinginan untuk melindungi dan memberikan kenyamanan kepada mereka berdua.

Maaf, Mbak Farah. Maaf jika aku lancang karena ingin memiliki suami dan anakmu.



Kegiatan pelatihan. Hari terakhir.


"Tante Bella nanti ikut sama aku dan Ayah, kan?"
"Ikut ke mana, Cinta?"
"Ikut pulang ke rumah aku..."

Cinta sayang...

"Kamu habiskan makanan dulu ya, nanti kita bahas lagi..."

Andai kamu tahu, Cinta. Tante Bella sangat ingin berlama-lama bersama kamu dan Ayah kamu. Tapi, sepertinya tidak mungkin.

"Kita pulangnya kalau sudah selesai makan siang ya, Tante?"
"Iya..."
"Tante ikut mobil bareng aku kan?"
"Mungkin enggak..."
"Yah..."

Raut wajah Cinta langsung berubah dan air mata mengalir begitu saja, dengan derasnya.

"Cinta...." aku segera memeluknya.

"Rumah kamu dan Tante kan berbeda, sayang."
"Tapi aku masih mau sama Tante..."
"Sekarang kamu sama Tante..."
"Kalau sudah pulang ke Jakarta, kita masih ketemu?"
"Nanti kita bahas sama Ayah kamu."


***


Maret, 2014.


Saat ini, rasanya ingin sekali aku menghubungi kamu. Sekedar alasan untuk meminta hiburan dan kekuatan. 

"Maaf, Mas. Maaf..." dalam hati aku merasa berdosa sekali kepada suamiku karena masih memikirkan Mas Mario.

Kisahku dan Mas Mario sudah lama berlalu. Setelah pelatihan itu, aku dan keluarga Mas Mario menjadi semakin dan dekat. Tetapi, hubungan tersebut tidak berjalan lama karena keluargaku tidak menyetujui hubungan kami. Dengan berat hati hubungan itu aku lepas demi menghormati orangtuaku. Aku dapat memaklumi perasaan orangtuaku yang tidak dapat menerima selisih usia 13 tahun antara aku dan Mas Mario, ditambah juga status Mas Mario sebagai duda dengan anak.

Pertemuanku dengan Mas Mario yang terakhir kalinya berlangsung pada Februari 2009. Setelah itu aku melanjutkan hidup di kota lain, sedikit melarikan diri dari kesedihan yang aku alami. Kemudian aku bertemu dengan Mas Dama, suamiku sekarang, di tengah pelarianku dari Mas Mario. 

Dua tahun lalu, aku dan Mas Dama menikah. Aku sempat hamil dan kemudian keguguran. Penyebabnya karena air ketuban yang pecah sebelum waktunya. Sebenarnya bukan salah air ketuban, ini murni kesalahanku yang masih aktif bekerja, bahkan terjun ke lapangan tanpa benar-benar menjaga diri dan janinku dengan baik. Mas Dama dan keluargaku sudah mengingatkan aku, tetapi aku yang keras kepala tidak juga berhati-hati. Akibatnya, aku pun keguguran di usia kehamilan 4 bulan.

Di kehamilan kedua ini, aku memang lebih berhati-hati. Bahkan, sangat berhati-hati. Aku benar-benar menunggu kelahiran anak pertama. Sebelumnya aku gagal dan sempat membuatku sedih, tetapi kali ini aku lebih merasa takut lagi. Aku teringat kisah Mbak Farah, isteri Mas Mario, yang meninggal saat proses melahirkan. Aku takut mengalami yang sama.




"Let it go, Bella..."

Tiba-tiba aku mendengar suara lembut menyapaku, "Siapa?".

"Jangan terlalu dikuasai kisahku, lepaskanlah. Dengan begitu kamu akan lebih mampu menerima apapun yang akan kamu alami. Lepaskanlah..."

"Mbak Farah, Isteri Mas Mario?"

"Iya, Bella... Ini aku. Ikhlaskanlah, meminta maaflah kepada semua keluargamu supaya kamu lebih tenang menghadapi persalinan yang sebentar lagi."

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuka hati! :)